“Empat Pulau, Empat Sumbu Konflik Negara-Bagian

Crew8 News, – Konflik penetapan empat pulau , Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, sebagai wilayah Sumatera Utara, bukan sekadar soal peta dan koordinat, Ia adalah sinyal politik yang kuat bahwa relasi antara pusat dan daerah, terutama daerah dengan status khusus seperti Aceh, kembali memasuki masa rawan.

Kegentingannya bahkan lebih luas dari sekadar tapal batas, ia menyentuh akar geopolitik, legitimasi negara, dan narasi ketidakadilan struktural.

Aceh berada di titik geopolitik yang amat penting, menghadap langsung ke Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, Empat pulau yang disengketakan bukan hanya soal “sejengkal tanah”, melainkan aset maritim strategis yang mengandung potensi sumber daya alam (minyak, gas, ikan) dan kontrol atas wilayah laut.

Dalam pandangan geopolitik, siapa yang menguasai pulau-pulau kecil di zona ini, maka ia mengendalikan ekonomi maritim lokal sekaligus posisi tawar terhadap negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Keputusan sepihak dari Kemendagri memperlihatkan bagaimana pendekatan geopolitik nasional masih bersifat Jakarta-sentris , mengabaikan aspek identitas, sejarah, dan kontrak damai yang menjadi fondasi otonomi daerah seperti Aceh.

Akibatnya, keputusan teknokratis bisa berujung politis, bahkan memicu sentimen separatisme.

Perjanjian damai Helsinki (2005) adalah kompromi berdarah, Aceh bersedia menanggalkan senjata demi otonomi luas, hak mengelola sumber daya, dan pengakuan kultural.

Namun ketika pulau-pulau yang secara historis dan administratif diakui sebagai bagian dari Aceh tiba-tiba “dipindahkan” ke Sumut, maka itu bukan sekadar kesalahan birokrasi, Itu bisa dibaca sebagai delegitimasi terhadap status khusus Aceh, dan secara tidak langsung membatalkan semangat Helsinki.

Di sinilah posisi Gubernur Sumut Bobby Nasution menjadi sorotan, Sebagai menantu Presiden Jokowi, manuver politiknya di Aceh dinilai oleh sebagian pihak sebagai bagian dari kalkulasi kekuasaan menjelang Pilkada dan Pilpres mendatang, Bagi Aceh, hal ini makin memperkuat kesan bahwa pusat lebih peduli pada kepentingan elite ketimbang konstitusi perjanjian damai.

Salah satu ironi terbesar dalam sistem otonomi Indonesia adalah asimetris dalam teks, simetris dalam praktik.

Aceh, Papua, dan DKI Jakarta memang memiliki kekhususan dalam undang-undang, tapi dalam praktik kebijakan, sentralisme tetap dominan.

Konflik empat pulau ini memperlihatkan bagaimana kementerian pusat, tanpa konsultasi dan verifikasi menyeluruh, bisa menetapkan batas wilayah yang berdampak pada kedaulatan politik dan ekonomi daerah.

Hal ini mengindikasikan bahwa struktur negara belum sepenuhnya menata ulang paradigma pusat-daerah pasca-reformasi, Aceh yang selama ini menjaga luka dan harapan, kini mulai mempertanyakan ulang, apakah pusat benar-benar tulus membangun kesetaraan, atau sekadar memperhalus instrumen kekuasaan?

Jika tidak segera diselesaikan dengan pendekatan dialogis, transparan, dan menghormati perjanjian, konflik ini dapat memicu eskalasi politik dan sosial di Aceh.

Wacana referendum yang kembali mencuat bukan isapan jempol, Ini bukan sekadar agitasi politik lokal, melainkan bentuk protes keras terhadap erosi komitmen damai dari negara.

Bagi pemerintahan Prabowo Subianto, ini menjadi ujian awal. Apakah akan mengulang pendekatan otoriter Orde Baru, atau membangun model baru tata kelola negara yang benar-benar menghormati entitas daerah sebagai mitra strategis, bukan obyek subordinat.

Konflik empat pulau adalah titik api kecil yang menyala di atas bara panjang relasi timpang pusat dan daerah, Jika dibiarkan, ia bukan hanya membakar batas, tetapi juga membakar kepercayaan.

Dalam geopolitik negara-bagian, kesalahan kecil bisa memicu gejolak besar, Dan di Aceh, sejarah mengajarkan bahwa luka lama tak pernah benar-benar sembuh ,hanya menunggu waktu untuk kembali berdarah. (C8N)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini