Oleh: [Crew8 News/Redaksi]
Ketika sekelompok purnawirawan TNI menerbitkan surat yang mendesak DPR memakzulkan Gibran Rakabuming Raka, banyak pihak menilai langkah ini sekadar ekspresi kekecewaan atas praktik dinasti politik dan rekayasa hukum yang meloloskan putra Presiden Jokowi sebagai cawapres. Namun jika kita cermati lebih dalam, surat pemakzulan ini tidak berdiri sendiri, ia muncul berbarengan dengan meletusnya konflik teritorial antara Aceh dan Sumatera Utara, soal status empat pulau strategis yang diduga secara sepihak “dipindahkan” oleh pemerintah pusat lewat Kepmendagri.
Apakah ini kebetulan? Sulit untuk percaya.
Purnawirawan, sebagaimana diketahui, adalah barisan yang pernah menjadi pengawal utama NKRI.
Mereka memahami betul pentingnya stabilitas wilayah dan kedaulatan daerah, terutama di provinsi-propinsi eks-konflik seperti Aceh.
Maka, ketika pemerintah pusat melalui Keputusan Mendagri Nomor 100.2.1.3-3725/2024 secara diam-diam memindahkan empat pulau, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Ban, ke wilayah Sumut, itu bukan hanya soal batas peta, tetapi soal kepercayaan dan keutuhan perjanjian damai Helsinki.
Para purnawirawan tahu, keputusan sepihak seperti ini adalah pelanggaran diam-diam terhadap otonomi khusus Aceh, dan yang lebih dalam, mereka melihat bahwa ini bagian dari pola baru, pusat kembali mengambil alih kendali atas daerah-daerah kaya sumber daya, terutama yang memiliki sejarah politik tersendiri.
Lalu di mana posisi Gibran?
Sebagai simbol dari konsolidasi kekuasaan pasca-Jokowi, Gibran bukan hanya representasi dari praktik politik keluarga, tetapi juga simbol dari sistem yang kini mulai menggeser keseimbangan antara pusat dan daerah.
Purnawirawan tidak hanya menggugat keabsahan politik Gibran, tetapi memperlihatkan kecemasan sistemik terhadap arah pemerintahan baru yang mereka nilai akan mengulang pola otoriter dalam wajah demokrasi elektoral.
Dengan kata lain, surat pemakzulan Gibran adalah peringatan dini.
Dan sengketa empat pulau Aceh adalah indikator bahwa peringatan itu punya dasar yang nyata.
Keduanya terhubung oleh satu benang merah, kegelisahan elite lama terhadap arah politik baru yang terlalu cepat mengkonsolidasi kekuasaan dan mulai mengacak-acak tatanan pascareformasi.
Purnawirawan bukan sekadar nostalgia kekuasaan.
Mereka adalah mata yang dulu pernah melihat negara hampir runtuh karena kesewenang-wenangan.
Maka ketika mereka bersuara hari ini, tak boleh dianggap sepele.
(Team Redaksi)