Miris, Guru Madrasah di Pulau Kerasian Hanya Digaji Rp350 Ribu per Bulan
Crew8 News, Kotabaru – Di ujung selatan Kalimantan Selatan, tepatnya di Pulau Kerasian, gema penguatan pendidikan karakter (PPK) seperti tak pernah sampai, di saat negara mendorong nilai-nilai integritas, kemandirian, religius, dan gotong royong ke dalam kurikulum nasional, justru para penggerak utama nilai-nilai itu di madrasah swasta dibiarkan berjuang sendiri di bawah bayang-bayang keterpinggiran.
Madrasah Aliyah Madinatul Ilmi di Desa Pulau Kerasian, Kecamatan Pulau Laut Kepulauan, berdiri sejak 2016.
Di atas tanah yang dikelilingi laut dan angin asin, sekolah ini menjadi satu-satunya harapan pendidikan tingkat menengah bagi masyarakat setempat.
Namun, ironi pun tersingkap: sebanyak 16 guru di madrasah ini hanya menerima honor Rp350.000 per bulan, tanpa tunjangan apapun dari pemerintah daerah maupun provinsi.
“Kami merasa seperti bukan bagian dari sistem pendidikan nasional,” tutur salah satu guru perempuan. “PPK, Kurikulum Merdeka, pelatihan ini-itu, semua kami dengar, tapi tidak ada yang datang membawa kabar baik tentang kesejahteraan.”
Dalam kondisi serba terbatas, hanya empat ruang kelas, satu kantor, dan puluhan siswa per kelas, guru-guru ini tetap mengajar dengan dedikasi penuh. Lulusan sekolah pun terus meningkat, dari 31 orang pada 2017 menjadi 44 orang pada 2024, dan 32 orang pada 2025. Artinya, madrasah ini tetap dipercaya masyarakat, meskipun negara seolah memalingkan wajah.
Kepala Madrasah Aliyah Madinatul Ilmi menyebut, ia hanya menerima Rp750.000 per bulan, jauh dari standar UMR, apalagi jika dibandingkan dengan honor guru SMA/SMK negeri yang mendapat insentif provinsi mencapai Rp3 juta atau madrasah lain yang mendapat insentif daerah hingga Rp2 juta.
“Kami ini mengajar agama, membina karakter, mendidik akhlak. Tapi justru kami yang dilupakan dalam prioritas anggaran, pemerintah bicara pendidikan karakter, tapi lupa pada karakter keadilan,” ujarnya getir.
Lebih jauh, ketimpangan ini seolah menjadi kontradiksi struktural dalam sistem pendidikan Indonesia, guru madrasah berada di pinggiran, baik secara geografis maupun kebijakan.
Tidak ada afirmasi anggaran, tidak ada jaminan kesejahteraan, padahal beban kerja dan tanggung jawab moral mereka sama, bahkan lebih tinggi.
Pertanyaan paling mendasar pun mengemuka:
Ke mana peran Pemerintah Kabupaten Kotabaru dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam menyentuh sektor pendidikan keagamaan, terutama di madrasah swasta?
Pemerintah seolah menutup mata bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional, Padahal, dalam dokumen kebijakan daerah, pendidikan selalu disebut sebagai prioritas, namun realitanya, anggaran hanya mengalir ke sekolah negeri, sementara madrasah swasta, yang notabene banyak di daerah terluar, terabaikan.
“Kami bukan minta disamakan, tapi tolong dipedulikan, sekali saja Pemprov atau Pemkab datang dan lihat langsung kondisi kami di sini. Kami yakin mereka akan tersentuh, jika masih ada kepekaan,” ujar kepala madrasah.
Kepala Desa Pulau Kerasian, Muhammad Sadli, turut menyuarakan keresahan ini.
“Para guru ini pahlawan tanpa perlindungan. Kalau mereka berhenti karena tidak kuat, siapa yang akan mendidik anak-anak kami? Mereka bukan sekadar pengajar, mereka penjaga masa depan pulau ini,” ungkapnya.
Ia menekankan, sudah saatnya pemerintah membuka mata dan memberi perlakuan adil kepada guru-guru di madrasah swasta, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Tanpa mereka, jargon-jargon pendidikan karakter hanya tinggal tulisan di atas kertas kebijakan
Kisah guru-guru madrasah di Pulau Kerasian menjadi simbol ketimpangan dan pengabaian, di satu sisi, negara menggembar-gemborkan pembangunan karakter dan moralitas siswa, di sisi lain, para pendidik nilai-nilai luhur itu justru hidup dalam ketidakpastian, pemerataan pendidikan tak cukup hanya bicara akses belajar, ia juga harus menyentuh kesejahteraan para guru yang menjadi tulang punggung peradaban.
(Alfin)