Hilirisasi di Atas Kertas, Pengkhianatan di Lapangan, Negara Tak Bisa Jalan Bila Dikhianati dari Dalam

Oleh: Redaksi crew8 News

Indonesia sedang berlari dengan jargon hilirisasi, membangun dari hulu, mengolah di tengah, dan mendulang nilai tambah di hilir.

Pemerintah pusat, terutama Presiden dan jajaran teknokrat di kementerian, tampak begitu ambisius dan terukur dalam merancang arah baru pembangunan ekonomi berbasis sumber daya.

Tapi apakah benar hilirisasi bisa berjalan mulus, ketika di titik paling bawah dari rantai negara, pengkhianatan dibiarkan hidup dan berkembang?

Pertanyaan itu mencuat saat publik melihat ironi yang disorot tajam oleh Sekretaris Jenderal CREW 8, Ossie Gumanti.

Ia menyebut bahwa hingga kini, harga pupuk subsidi masih jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 150 ribu hingga Rp 170 ribu per sak.

Padahal Keppres dan Kepmentan sudah mengatur dengan sangat jelas. Bahkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dikenal dengan gaya kerja yang lugas dan kebijakan yang rapi di level pusat.

Lantas, siapa yang merusaknya?

Jawabannya, aparatur negara sendiri.

Inilah paradoks besar dalam birokrasi Indonesia, di pusat, regulasi dibuat dengan teliti, data diverifikasi, kebijakan disiarkan ke publik dengan segala perangkat komunikasi.

Tapi begitu menyentuh realitas lapangan, semuanya berantakan.

Distribusi pupuk subsidi adalah cermin telanjang dari kegagalan hilirisasi tata kelola.

Bagaimana kita bisa bicara industrialisasi pertanian, ketika harga pupuk saja tak bisa dikendalikan? Bagaimana mungkin ketahanan pangan nasional tercapai, bila petani justru harus membeli pupuk subsidi dengan harga komersial? Ini bukan kekeliruan teknis.

Ini adalah pengkhianatan struktural, oleh distributor, dinas pertanian daerah, Satgas Ketahanan Pangan yang diam, hingga oknum di rantai pengawasan.

CREW 8 menyebutnya pembangkangan, dan kami menyebutnya sabotase nya sistem dari dalam.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman adalah tokoh yang punya rekam jejak tegas dalam kebijakan hulu, tapi justru karena itu, tantangan terbesar baginya bukan di ruang rapat atau depan kamera, melainkan di gudang-gudang pupuk, kios pengecer, dan jalur distribusi yang dikuasai para mafia.

Ketegasan itu kini diuji, apakah akan menyentuh para pelanggar di bawah? Apakah berani menindak distributor resmi yang menyimpang? Apakah berani membersihkan jajaran kementerian hingga satgas daerah yang menjadi kaki tangan kartel pupuk?

Kalau tidak, maka semua visi besar hilirisasi akan ambruk karena pengkhianatan kecil yang dibiarkan.

Di titik ini, rakyat bukan sedang kehilangan pupuk, rakyat sedang kehilangan harapan bahwa negara masih berpihak, karena ketika subsidi tidak sampai, bukan hanya pupuk yang gagal disalurkan, tapi juga keadilan sosial.

Negara tak akan pernah maju, jika terus dikibuli oleh aparaturnya sendiri, tak ada gunanya bangun smelter, ekspor olahan, atau buat roadmap pangan digital, bila petani masih menangis membeli pupuk subsidi di harga yang tak masuk akal.

Hilirisasi hanya akan jadi mimpi, jika negara terus dibajak oleh pengkhianatan dari dalam.

Sudah saatnya Presiden, Menteri Pertanian, dan para pemangku kekuasaan lainnya melihat lebih tajam ke bawah, jangan bangga dengan Power Point di meja rapat, bila kenyataan di lapangan justru menunjukkan kebusukan yang dibiarkan.

(C8N)

#negara dan mafia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini