Jejak Kebun di Balik Hutan, Sawit Rakyat Menjamur di Jantung HPK Pesisir Selatan

Crew 8 News, Pessel, – Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata tidak lagi murni hutan, di empat kecamatan yakni Basa Ampek Balai, Ranah Ampek Hulu Tapan, Pancung Soal, dan Lunang, ribuan hektare kebun sawit tumbuh subur, berdiri tanpa izin resmi, dan dikuasai oleh berbagai kalangan elit hingga masyarakat biasa.

Investigasi tim Crew 8 News mengungkap, lahan-lahan tersebut dikelola tanpa pelepasan kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagaimana diatur dalam regulasi kehutanan,

Padahal status HPK mengikat kawasan tersebut sebagai kawasan hutan negara, yang tidak bisa dialihfungsikan sembarangan.

Data awal dan pengakuan warga mengindikasikan, kebun-kebun sawit dalam HPK dikuasai oleh berbagai pihak, mulai dari:

Aparatur sipil negara dan mantan ASN

Anggota aparat penegak hukum (APH),

Perantau kaya dari Batam, Jakarta, Medan, bahkan perantau di malaysia

Aktivis LSM, hingga

Tokoh adat dan masyarakat lokal dan para wali nagari termasuk anggota DPRD aktif dan non aktif

Sebagian dari mereka menggunakan skema “silih jariah” , sistem adat berupa penggantian garapan tanah atau kerja sama , serta surat dari Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk melegalkan penguasaan lahan.

Namun, menurut ahli hukum kehutanan, surat-surat tersebut tidak sah menurut hukum positif jika digunakan untuk tanah di kawasan hutan.

Dari penelusuran lapangan diperoleh fakta bahwa:

Setidaknya 7 individu menguasai lebih dari 300 hektare,

Puluhan nama lainnya mengelola antara 20 hingga 100 hektare,

Beberapa nama bahkan disebut memiliki lahan sawit di atas 1.000 an hektare.

Aktivitas pengolahan berjalan aktif, mulai dari pembukaan lahan, penanaman, hingga panen dan distribusi Tandan Buah Segar (TBS), namun tak satu pun ditemukan dokumen Hak Guna Usaha (HGU) atau SK pelepasan kawasan hutan dari KLHK.

Penguasaan dan pengelolaan HPK tanpa izin resmi tergolong pelanggaran serius berdasarkan:

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan

UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Pelanggaran ini dapat dikategorikan sebagai:

Perambahan kawasan hutan,

Penggunaan kawasan hutan tanpa hak,

Kejahatan terorganisir dalam bentuk mafia tanah dan hasil hutan.

“Kegiatan semacam ini bisa dikenai pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar,” ujar seorang praktisi hukum kehutanan yang enggan disebut namanya.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini