Crew 8 News, Pessel – Penguasaan kebun sawit dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) di Pesisir Selatan tak berhenti pada pelanggaran administratif.
Penelusuran lanjutan tim Crew 8 News membongkar siapa saja yang berada di balik ribuan hektare kebun ilegal itu, tak hanya masyarakat biasa, sebagian besar lahan sawit justru dimiliki oleh kalangan elit, dari pejabat hingga tokoh perantau berpengaruh.
Dalam catatan lapangan dan dokumen yang diperoleh, terdapat nama-nama ASN aktif, pensiunan aparat, perantau kaya asal Batam dan Jakarta, serta sejumlah pengurus koperasi yang digunakan sebagai perantara penguasaan lahan dalam skala besar.
Indikasi Pemecahan Nama dan Rekayasa Kepemilikan, Crew 8 News menemukan setidaknya:
Tujuh individu menguasai di atas 300 hektare, atas nama pribadi, keluarga, hingga kelompok tani fiktif.
Beberapa nama diketahui mengendalikan lahan lebih dari 1.000 hektare, tersebar di Pancung Soal dan Lunang.
Puluhan lainnya mencatatkan kepemilikan 20–100 hektare per orang, dengan pola pemecahan surat di tingkat nagari.
Mayoritas penguasaan ini tidak didukung surat pelepasan kawasan dari KLHK maupun izin Hak Guna Usaha (HGU).
Dalam dokumen yang diperoleh, hanya terlampir surat pengakuan dari Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan nota kerja sama berbasis “silih jariah”.
Modus penguasaan lahan oleh elite ini kerap difasilitasi melalui:
Koperasi dan kelompok tani fiktif yang hanya berisi keluarga pemilik modal, penggunaan nama kelompok tani yang tidak pernah eksis di lapangan, legitimasi dari KAN dan perangkat jorong untuk menutupi status lahan sebagai kawasan hutan.
Salah satu mantan kepala jorong di Kecamatan Lunang mengungkap:
“Ada koperasi dibuat hanya untuk urus bantuan bibit dan alat, tapi lahan itu bukan untuk petani, yang kelola ya orang kota, warga sini cuma disuruh tandatangan.”
Dalam dokumen tim investigasi, nama-nama berikut disebut sebagai pengendali:
Pensiunan pejabat dinas perkebunan dari luar daerah, menguasai ±850 ha di Pancung Soal, Eks kepala bidang di pemerintahan kabupaten, lewat kelompok tani binaan,
Tokoh perantau asal Pesisir Selatan di Batam dan Jakarta, diduga membeli lahan adat untuk ditanami sawit, namun belum pernah mengurus izin kawasan,
Oknum anggota APH, disebut mengelola lahan sawit atas nama kerabat di daerah Ranah Ampek Hulu Tapan.
Ahli kehutanan menegaskan bahwa penguasaan lahan dalam HPK tetap tunduk pada UU No. 41/1999 dan UU No. 18/2013 (P3H).
Tanpa dokumen pelepasan kawasan dan izin berusaha dari KLHK, aktivitas sawit tetap ilegal, meskipun dilakukan atas nama koperasi atau menggunakan surat KAN.
“Alas hak dari adat itu tidak bisa jadi dasar hukum untuk kawasan hutan. Ini masuk kategori penggunaan kawasan tanpa izin, dan pelakunya bisa kena pidana,” ungkap praktisi hukum kehutanan di Padang.
(C8N)
#senyuman08