Kasus Pemindahan Sepihak Qorry Syuhada Didalami, Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Ketua TP PKK Mencuat
Crew8 News, Solok,- Kasus pemindahan sepihak terhadap tenaga honorer Non-ASN Qorry Syuhada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Solok resmi memasuki fase pemeriksaan.
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan surat resmi permintaan keterangan kepada enam pejabat kunci Kabupaten Solok, termasuk Ketua TP PKK, Sekretaris Daerah, dan Kepala Dinas Koperasi UKMPP.
Surat bernomor T/0389/LM.11-03/0197.2025/VII/2025 tertanggal 11 Juli 2025 itu menyebut bahwa Ombudsman menerima laporan dari Qorry Syuhada terkait dugaan maladministrasi dan penyimpangan prosedur dalam pemindahan dirinya dari Dinas Koperasi UKMPP ke Kantor Camat Pantai Cermin.
Laporan tersebut juga menyorot dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Ketua TP PKK Kabupaten Solok periode 2025–2030 yang juga istri bupati yang menjabat sebagai Kabag Prokomp dilingkup pemerintahan Kabupaten Solok.
“Ini bukan hanya soal mutasi, tapi menyentuh jantung etika birokrasi. Ketika seorang tenaga honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun dan tercatat di database BKN justru diperlakukan sewenang-wenang, publik berhak tahu siapa yang bermain,” ujar aktivis anti-korupsi lokal, Amri Fadli.
Dalam uraian laporan disebutkan bahwa Qorry telah mengikuti seleksi PPPK Tahap 1 Tahun 2024 dan tengah dalam proses formal kepegawaian.
Namun alih-alih mendapatkan perlindungan administrasi, ia justru menerima mutasi yang secara jarak, beban, dan struktur sangat memberatkan, tanpa surat keputusan resmi dan tanpa dasar penilaian kinerja yang sah.
Yang mengejutkan, dalam laporan tersebut muncul dugaan bahwa pemindahan ini berhubungan dengan konflik personal masa lalu yang melibatkan Ketua TP PKK Kabupaten Solok. Nama Ketua TP PKK disebut secara eksplisit dalam surat Ombudsman sebagai salah satu pihak yang diminta klarifikasi atas dugaan penyalahgunaan pengaruh dalam proses mutasi.
Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa keputusan pemindahan tidak semata-mata berbasis kebutuhan organisasi, melainkan ada unsur dendam pribadi yang menyusup ke dalam mekanisme birokrasi.
“Jika benar Ketua TP PKK punya kuasa informal dalam mengatur nasib pegawai, maka kita sedang menyaksikan bentuk baru dari otoritarianisme lokal yang membajak sistem kepegawaian,” tegas tokoh senior kabupaten Solok yang minta namanya dirahasiakan.
Ombudsman RI Sumbar menegaskan bahwa proses permintaan keterangan ini bertujuan untuk menelusuri fakta-fakta dan dugaan penyimpangan prosedur, termasuk potensi pelanggaran terhadap UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Sementara itu, Qorry Syuhada sendiri menegaskan bahwa langkahnya bukan bentuk perlawanan, tetapi bentuk permohonan keadilan.
“Saya hanya minta negara hadir. Bukan untuk memihak saya, tapi untuk menegakkan prosedur dan menghentikan penindasan yang dibungkus kewenangan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Kini sorotan publik tertuju pada respons para pejabat yang dipanggil. Apakah mereka akan jujur membuka fakta, atau justru berlindung di balik birokrasi yang selama ini menutupi praktik kekuasaan tanpa akuntabilitas?
(C8N)
#senyuman08