Mevrizal, SH MH /7/9
Fenomena maraknya kembali Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Solok sebenarnya bukan sekadar persoalan ekonomi atau sosial, melainkan problem serius dalam penegakan hukum, Instruksi Presiden tentang pemberantasan PETI jelas dan tegas, tetapi kenyataannya di lapangan, instruksi tersebut seolah-olah hanya menjadi lips service (omon-omon) yang tidak dipatuhi serius oleh aparat maupun pemerintah daerah.
Dari perspektif hukum tata negara, ini menandakan adanya crisis of compliance, norma hukum dan perintah konstitusional diabaikan oleh aparat negara sendiri.
Maraknya kembali PETI di Kabupaten Solok juga menunjukkan lemahnya peran pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan koordinasi, meskipun kewenangan perizinan sudah ditarik ke pusat pasca-revisi UU Minerba, Pemda tetap memiliki kewajiban menjaga ketertiban umum dan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.
Fakta di lapangan justru memperlihatkan Pemda seolah lepas tangan, membiarkan aktivitas ilegal berjalan tanpa pengawasan yang efektif, akibatnya, instruksi Presiden untuk memberantas PETI hanya terbaca sebagai lips service, karena tidak ada daya tekan nyata dari daerah untuk memastikan hukum ditegakkan.
Secara normatif, PETI melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp100 miliar, bahkan, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka pelaku PETI dapat dikenakan pasal mengenai perusakan lingkungan hidup dengan ancaman pidana korporasi.
Bila aktivitas PETI merambah kawasan hutan, maka Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga relevan, dengan demikian, dasar hukum untuk menindak sebenarnya sudah sangat kuat.
Padahal, bukti penegakan hukum itu ada. Dalam Putusan PN Solok Nomor 13/Pid.Sus/2025/PN Slk, terdakwa dijatuhi hukuman delapan bulan penjara, denda Rp1 miliar, dan barang bukti berupa excavator serta breaker dirampas untuk negara.
Putusan ini menunjukkan bahwa ketika aparat bergerak, hukum bisa ditegakkan tegas, namun tanpa dukungan berkesinambungan dari Pemda, baik melalui pengawasan, koordinasi satgas terpadu, maupun penyediaan alternatif ekonomi bagi masyarakat, putusan seperti itu hanya jadi pengecualian.
PETI tetap menjamur kembali, dan pada titik ini publik wajar menilai bahwa instruksi Presiden hanya omong-omong yang tidak pernah sungguh-sungguh dijalankan di daerah.
Namun, sebagaimana dikatakan Lawrence Friedman dalam teori legal system-nya, penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh substance (aturan hukum), tetapi juga oleh structure (aparat penegak hukum) dan legal culture (budaya hukum masyarakat).
Di sini kita melihat bahwa substance sudah ada dan memadai, tetapi structure lemah, penegak hukum tampak tutup mata atau bahkan terlibat, dan legal culture masyarakat yang terdesak kebutuhan ekonomi membuat mereka tetap memilih jalan PETI.
Inilah yang melahirkan sengkarut tanpa ujung, ketiadaan tindakan nyata dari aparat penegak hukum dan lemahnya koordinasi lintas sektor (Polri, TNI, Pemerintah Daerah) menimbulkan kesan bahwa negara tidak hadir, padahal, TNI sebagai penjaga kedaulatan teritorial memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan wilayah tidak dieksploitasi secara ilegal, sementara kepolisian dan kejaksaan wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu, pemerintah daerah pun, dengan kewenangan administratifnya, tidak boleh bersembunyi di balik alasan keterbatasan.
Instruksi Presiden yang tidak dijalankan di daerah akhirnya menurunkan legitimasi negara, dalam kacamata teori hukum responsif ala Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum semacam ini jatuh pada kategori “repressive law” yang hanya tampak kuat di atas kertas tetapi tidak hadir dalam realitas masyarakat.
Akibatnya, masyarakat memandang hukum bukan sebagai panglima, melainkan sekadar formalitas, jika kondisi ini dibiarkan, PETI akan terus menjadi lingkaran setan, ditertibkan sebentar, hilang sejenak, lalu menjamur kembali.
Solusi hukum harus ditempuh dengan tiga pendekatan: (1) law enforcement yang konsisten dan transparan; (2) penegakan pertanggungjawaban pidana tidak hanya kepada pelaku lapangan tetapi juga aktor intelektual dan korporasi di balik PETI; dan (3) penyediaan alternatif ekonomi legal bagi masyarakat. Tanpa itu, instruksi Presiden akan terus dianggap sebatas omong-omong politik belaka.
(C8N)
#senyuman08