Sabak Saja Cukup

Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III Univ. Islam Sumatera Barat

Crew8 News – Di salah satu sudut kota Padang, sambil sarapan pagi, kami mendengar curhatan seorang emak-emak, ibu rumah tangga, sebut saja namanya Fulanah, boleh dipanggil Fula atau Anah.

Beliau ibu dari 3 orang anak, anak yang paling besar baru saja masuk SMA tahun ini, yang nomor 2 sekolah di SLB dan yang paling kecil belum masuk sekolah, baru berusia sekitar 2 tahun.

Suami Fula seorang sopir taksi berargometer, kadang mangkal di bandar udara internasional Minangkabau (bandara), kadang di tengah kota, bergiliran dengan teman-temannya sesama sopir.

Mangkal di bandara giliran yang ditunggu-tunggunya, sangat senang dia, sebab potensi dapat uang agak banyak lebih besar.

Bertugas di tengah kota adalah giliran yang berat, hari yang panjang harus dilalui, saingannya taksi online, penumpang lebih memilih taksi online ketimbang yang berargometer, pilihan yang memang sangat masuk akal, taksi online menawarkan kepastian harga.

Fula menceritakan rata-rata pendapatan suaminya. “Paling suami saya bisa membawa pulang sekitar Rp. 3.000.000 sebulan, Pak”, katanya.

Jumlah itu hampir mirip-mirip dengan pendapatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bedanya, bulan dan hari saja, suami Fula dapat Rp. 3.000.000 sebulan, sedangkan anggota DPR bisa mendapatkannya dalam satu hari saja.

Pengeluaran keluarga Fula besar, tentu menurut ukuran mereka, uang yang Rp. 3.000.000 itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, dari bulan ke bulan, mereka keluarga yang cukup beruntung, kontrakan rumah tidak perlu dipikirkan karena mereka tinggal di rumah milik keluarga besar.

Sejak bulan kemarin, masalah mulai muncul, anaknya yang baru masuk SMA butuh biaya lebih, membayar sumbangan komite.

Sekolah memang disebut-disebut gratis. “Para orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah negeri tidak perlu membayar uang sekolah, sekolah gratis”, kalimat itu selalu berulang-ulang keluar dari mulut setiap pejabat, di masa kampanye lebih sering lagi terdengar, calon pejabat juga ikut mengulang-ulangnya.

Uang sekolah memang gratis, yang dibayar itu uang sumbangan komite sekolah, secara terminologi, keduanya memang tidak sama, uang sekolah sifatnya wajib, sementara, uang sumbangan komite bersifat sukarela.

Sukarela dengan catatan, jika orang tua tidak mampu membayar sumbangan, silakan tunjukkan surat keterangan tidak mampu, ambil foto rumah dan ruangan tamu dan syarat-syarat lainnya, praktiknya, ketimbang direpotkan dengan syarat-syarat itu, sebagian orang tua yang tadinya merasa tidak mampu lebih memilih membayar saja.

Sepintas, orang-orang yang menyebut bersekolah di sekolah negeri gratis serupa tidak salah, padahal sangat salah, mereka sedang membohongi rakyat, mengganti uang sekolah dengan sumbangan komite itu serupa mengganti cigak dengan beruk, sebutannya beda, isinya tetap sama, uang keluar.

Di sekolah anak Fula, besaran sumbangan komite ditetapkan sebesar Rp. 175.000 per-bulan untuk satu anak.

Bagi anggota DPR, itu pasti tidak besar, bahkan tidak ada artinya dibanding pendapatan mereka yang katanya Rp. 3.000.000 perhari.

Bagi Fula dan keluarganya, angka Rp. 175.000 itu besar, uang sebanyak itu bisa membeli sekitar 7 kg beras jenis Anak Daro yang biasa jadi makanan pokok rata-rata orang Padang.

Warga negara serupa Fula banyak jumlahnya, tidak hanya di Padang, tersebar di seluruh Indonesia, mereka-mereka yang diwakili oleh 580 orang anggota DPR yang berkantor di Senayan.

Fula seluruh Indonesia pasti tahu diri, tidak akan menuntut pula mereka bergaji Rp. 3.000.000 sehari, yang mereka butuhkan itu empati di tengah sulit, di samping kerja kongkret pejabat publik membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka.

Bagi orang kampung saya, konsep empati itu sangat sederhana, anda cukup sabak (muram) saja ketika melihat tetangga atau kerabat anda sedang menangis.

Maksudnya begini, berada di tengah-tengah Fula tidak sepantasnya pejabat publik meracak mobil mewah hilir mudik, mempertontonkan makan-makan besar berkelebihan di media sosial dan melagak-lagakkan kehebatan personal lainnya, apalagi dengan sengaja melekatkan kata-kata tolol kepada rakyat di depan umum.

Pdg, 3/9/2025

(C8N)

#senyuman 08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini