PETI di Kabupaten Solok, Semua Lini Diduga Terlibat

Agandha Armen: Potensi Kaya, Tapi Kerusakan Ekologis dan Kesehatan Masyarakat Jangan Dibeli Murah

Solok – Crew8 News – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Solok kian tak terbendung, di balik hiruk-pikuk dompeng dan ekskavator yang merusak bentang alam, terselip dugaan keterlibatan tokoh masyarakat, pejabat aktif, hingga anggota DPRD, fakta ini membuat penindakan seakan hanya formalitas belaka.

Pepatah Minang menyebut, bunyi eee la sampai kadangaran di urang pakak (“Sudah terdengar sampai ke orang tuli.”) Itulah gambaran telanjangnya praktik PETI di Solok, siapa yang bermain, siapa yang melindungi, bukan lagi rahasia.

Di sejumlah nagari, tokoh masyarakat yang semestinya menjadi teladan justru diduga ikut bermain, mereka disebut menyediakan akses, jaringan, hingga legitimasi sosial bagi pemain PETI, akibatnya, aparat penegak hukum kerap kesulitan menindak tanpa berhadapan dengan resistensi lokal yang terorganisir.

Ironisnya, informasi yang berkembang juga mengarah pada dugaan keterlibatan pejabat aktif di lingkup pemerintahan kabupaten, mereka diduga menutup mata, bahkan “membiarkan” aktivitas tambang berjalan demi kepentingan ekonomi pribadi dan kelompok, kondisi ini menciptakan kebuntuan kebijakan, karena pihak yang seharusnya menertibkan justru menikmati keuntungan.

Lebih jauh, suara miring juga mengaitkan keterlibatan sejumlah anggota DPRD, bukan sekadar mengetahui, tetapi seolah ikut memberi legitimasi politik terhadap praktik yang jelas-jelas ilegal, dengan ikut terlibat dalam aktivitas PETI tersebut, baik secara langsung dan pakai tangan orang lain, padahal, DPRD adalah representasi rakyat yang seharusnya mengawal aspirasi lingkungan hidup dan kesejahteraan jangka panjang, bukan merestui aktivitas yang merusak alam dan menimbulkan bencana sosial.

Aktivitas PETI telah menggerus hutan, mencemari aliran sungai dengan merkuri, dan mengancam persediaan air bersih, sawah masyarakat terancam gagal panen, kesehatan warga terpapar zat berbahaya, sementara ancaman banjir dan longsor semakin besar.
“Kerusakan ekologis yang ditimbulkan PETI tidak hanya merugikan masyarakat hari ini, tapi juga generasi yang akan datang,” ujar seorang pemerhati lingkungan.

Selain itu, kerugian daerah juga signifikan, pendapatan asli daerah (PAD) hilang, sementara negara harus menanggung beban rehabilitasi lingkungan yang rusak.

Agandha Armen, aktivis pemerhati kebijakan publik SOLINA, menegaskan bahwa masyarakat sebenarnya tidak anti terhadap pertambangan.

“Secara daerah dan masyarakat, potensi itu memang kaya, tapi pemerintah kabupaten Solok sebagai pihak yang paling dekat dengan SDA dan SDM, sudah seharusnya mulai berpikir terbuka, memang ada bagian masyarakat yang diuntungkan, tapi di saat yang sama juga ada bagian masyarakat yang dirugikan dengan kerusakan ekologis, kesehatan, dan ancaman bencana,” tegasnya.

Agandha mendorong pemerintah membuka ruang perizinan resmi pada blok-blok yang sudah ditentukan.

“Sebenarnya aktivitas tambang ilegal ini bukan persoalan warga menolak, tetapi ini adalah penolakan oleh negara, jadi ironis ketika pejabat, aparat, bahkan anggota DPRD justru diduga menjadi legitimasi informal atas aktivitas yang sudah jelas ditolak negara,” katanya.

Presiden RI sudah menginstruksikan penertiban tambang ilegal, dan Gubernur Sumbar pun telah menyerahkan titik serta blok tambang ke pemerintah pusat. Artinya, semua pihak seharusnya satu nafas, aparat penegak hukum, Gakkum kehilutanan, lingkungan hidup, hingga pemerintah kabupaten/kota.

“Penolakan negara sangat berbanding lurus dengan aspirasi masyarakat, karena memperhatikan aspek lingkungan, mari kita hormati negara dan instruksi presiden, masyarakat kita sudah terlalu sering jadi korban akibat kerusakan alam, Jangan sampai mereka kecewa lagi, karena bangsa ini sedang dijangkiti sindrom gampang bosan atau marah,” tutup Agandha.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini