Arosuka, crew8 News – Ratusan masyarakat yang menamakan diri Masyarakat Selingkar Gunung Talang menggelar aksi damai di kawasan Tugu Ayam, depan Kompleks Perkantoran Bupati Solok, Selasa (23/9/2025). Aksi ini diikuti sekitar 150 orang peserta, mayoritas petani dari Nagari Batubajanjang Bukit Sileh, yang sekaligus memperingati Hari Tani Dunia.
Dalam orasinya, massa menyampaikan keresahan terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal (PLTG) di nagari mereka.
“Kami datang menyuarakan keresahan atas informasi bahwa pemerintah akan kembali mendirikan PLTG di Nagari kami. Kami meyakini proyek ini akan berdampak negatif terhadap masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian,” ujar Koordinator Aksi, Ayu Dasril.
Ia menegaskan, para petani menolak jika lahan pertanian mereka terancam. “Kami adalah tulang punggung pangan negeri ini, yang seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah, bukan kebijakan yang mengancam sumber penghidupan kami,” tambahnya.
Massa bahkan menyerahkan hasil pertanian kepada aparat yang berjaga, sebagai simbol perjuangan menjaga kelangsungan hidup petani. Aksi yang berlangsung sekitar dua jam itu berjalan tertib, tanpa insiden, dan ditutup dengan doa bersama.
Wali Nagari Koto Gaek Guguk, Mardi Henderson, menegaskan bahwa masyarakat dari tiga nagari Guguak tidak terlibat dalam aksi tersebut. “Mungkin mereka menggunakan simbol Salingka Gunung Talang, namun saya pastikan peserta aksi tidak melibatkan masyarakat kami di Tigo Nagari Guguk,” tegasnya.
Sementara itu, Wali Nagari Batubajanjang Bukit Sileh, Ulil Amri, membenarkan adanya keterlibatan warganya. “Namun saya tidak pernah diberi tahu sebelumnya bahwa mereka akan menggelar aksi. Meski demikian, saya berharap kegiatan berjalan aman dan masyarakat pulang dengan selamat,” ujarnya.
Namun, tak semua pihak sependapat dengan aksi penolakan tersebut. Tokoh masyarakat yang akrab disapa Dedi Aladin justru menyayangkan pola penolakan PSN (Proyek Strategis Nasional) yang terus berulang di Sumbar.
“Kita sangat miris. Setiap ada PSN selalu saja demo yang menentang. Mulai dari Air Banggis, di Tanah Datar, dan sekarang Solok dengan mengatasnamakan Salingka Gunung Talang. Padahal kalau mau jujur, aktivitas PETI dan illegal logging jauh lebih banyak mudaratnya,” ujarnya.
Menurutnya, kerusakan hutan, pencemaran air, dan dampak pada pertanian maupun kesehatan justru lebih nyata datang dari aktivitas ilegal tersebut. “Namun anehnya, tidak ada yang demo menentang itu. Sementara PSN geothermal yang menggunakan teknologi pengendalian dampak lingkungan, malah ditolak,” tambahnya.
Dedi Aladin juga menyinggung rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Solok. Ia mencontohkan Solok Selatan yang sudah bisa menikmati PAD sekitar Rp70 miliar per tahun dari geothermal. “Apakah tidak terpikir bahwa dengan PAD sebesar itu pemerintah daerah bisa lebih leluasa membangun ekonomi masyarakat?” katanya.
Ia menduga, ada kepentingan elit dalam aksi penolakan ini. “Saya melihat ini ada permainan tingkat elit untuk menaikkan nilai tawar. Lagu lama yang diputar ulang,” tegasnya.
Dedi Aladin pun menghimbau masyarakat agar tidak mudah diarahkan oleh isu yang tidak jelas. “Lebih baik bertanya kepada pemerintah daerah dan DPRD, kalau perlu minta dihadirkan ahli. Supaya tidak terjebak pada isu yang menyesatkan dan akhirnya terperangkap di jalan yang salah,” pungkasnya.
Aksi damai ini menunjukkan wajah kontras persoalan pembangunan di daerah. Di satu sisi, petani khawatir kehilangan lahan dan sumber penghidupan. Di sisi lain, ada pandangan yang melihat peluang besar bagi peningkatan PAD dan pembangunan daerah melalui proyek strategis nasional.
Hari Tani Dunia di Solok kali ini pun meninggalkan catatan penting, suara rakyat kecil masih keras mempertahankan tanah, sementara suara sebagian tokoh justru mendorong masyarakat agar lebih terbuka pada peluang pembangunan dengan teknologi ramah lingkungan.
Dedi Aladin juga mengingatkan peran pemerintah daerah dan DPRD agar tidak mengulang pola lama yang kerap menimbulkan kecurigaan publik.
“DPRD dan Pemkab jangan seperti yang lalu-lalu, tidak transparan. Lakukanlah sosialisasi yang terang benderang kepada masyarakat. Jangan diobok-obok masyarakat dengan ketidaktahuannya, tapi cerahkan mereka dengan informasi yang benar,” tegasnya.
Menurutnya, keterbukaan informasi adalah kunci agar masyarakat tidak terjebak pada isu yang menyesatkan. “Kalau transparan, masyarakat tentu lebih jernih menilai, tidak gampang diprovokasi,” pungkasnya.
Dedi Aladin juga mengingatkan masyarakat Koto Sani agar bijak dalam menyikapi isu. Demo ini saya curigai untuk memprovokasi masyarakat koto Sani, ini pola main billiard yang di pakai.
“Nanti jangan seperti masyarakat Batubajanjang, setelah dihentikan juga tidak ada alternatif lain. Cukup dengan kata ‘berhenti’ saja. Jangan sampai Koto Sani jatuh ke pola yang sama, tanpa jalan keluar,” pesannya.
Menurutnya, keterbukaan informasi dan kajian akademis dari para ahli sangat penting agar masyarakat tidak terjebak dalam isu sesat. “Kalau transparan, masyarakat tentu lebih jernih menilai, tidak gampang diprovokasi,” pungkasnya.
(C8N)
#senyuman08