Crew8 News- Jakarta – Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026 menuai pro dan kontra. Dengan target penerimaan kepabeanan dan cukai Rp336 triliun tahun depan,nnaik 8,26 persen dari outlook 2025, pemerintah lebih memilih menggencarkan pemberantasan rokok ilegal daripada membebani industri rokok dengan tarif baru.
Alasan Purbaya sederhana, potensi penerimaan dari rokok ilegal masih sangat besar. Rokok tanpa pita cukai, baik impor maupun produksi dalam negeri, termasuk yang dijual melalui platform daring, dinilai merugikan negara sekaligus mengganggu persaingan usaha.
Namun, dari sisi keadilan kebijakan, muncul pertanyaan besar.
Negara Sudah “Menghisap” 75 Persen Harga Rokok
Data Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menunjukkan beban negara pada harga rokok sudah mencapai 75 persen. Cukai menyumbang 55–56 persen, ditambah PPN 9,9 persen dan pajak daerah 10 persen. Dengan komposisi itu, industri hanya mengantongi sekitar 25 persen untuk biaya bahan baku, gaji pekerja, investasi, hingga perawatan mesin.
Bagi industri, keputusan tidak menaikkan cukai jelas melegakan. Kenaikan tarif selama ini membuat pabrikan kecil berguguran, menyisakan pemain besar yang mampu bertahan. Purbaya seakan memberikan “ruang bernapas” bagi sektor yang masih menyerap jutaan tenaga kerja di hulu maupun hilir.
Tapi dari perspektif kesehatan publik, keputusan ini dianggap kontraproduktif. Indonesia adalah salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia, termasuk perokok anak. Kenaikan tarif cukai selama ini terbukti menjadi instrumen pengendalian konsumsi, meskipun belum maksimal.
Tanpa kenaikan tarif, harga rokok tetap relatif terjangkau. Apalagi meskipun ada kebijakan menaikkan harga jual eceran (HJE) rata-rata 10 persen mulai 2025, harga tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan standar WHO yang merekomendasikan cukai minimal 70 persen dari harga jual.
Purbaya tampaknya memilih jalur populis, menjaga penerimaan negara tanpa “menyentuh” tarif cukai, sembari menebar janji penertiban rokok ilegal. Pertanyaannya, seberapa efektif aparat mampu menutup celah peredaran rokok ilegal yang sudah bertahun-tahun menjadi masalah laten?
Jika sukses, negara bisa menambah penerimaan sekaligus menertibkan pasar. Tapi jika gagal, kebijakan ini bisa berujung pada hilangnya momentum pengendalian konsumsi, sekaligus membiarkan publik menanggung beban kesehatan yang kian mahal.
Keadilan kebijakan ini akhirnya kembali pada cara pandang, adil bagi industri rokok yang diberi ruang hidup, atau adil bagi masyarakat luas yang berhak atas perlindungan kesehatan?
(C8N)
#senyuman08






