Peradi Padang Desak Evaluasi Sistem Kunjungan Advokat di Rutan Padang: “Ini Soal Martabat dan Kedaulatan Hukum”

Padang , Crew8 News

Kasus dugaan tindakan kasar terhadap advokat Maru, S.H. di Rutan Kelas II B Padang pada 13 Oktober 2025 berbuntut panjang. Dewan Pengurus Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Padang mengecam keras insiden tersebut dan menilai kejadian itu tidak hanya persoalan etika pelayanan, melainkan juga pelanggaran terhadap jaminan hukum bagi profesi advokat sebagai penegak hukum yang setara.

Dalam siaran pers Nomor 002/X/SP-PDG/2025, Peradi Padang menegaskan bahwa tindakan kasar oleh petugas rutan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

“Tindakan tersebut mencederai prinsip dasar negara hukum. Advokat bukan pengunjung biasa, tetapi bagian dari sistem peradilan yang diakui oleh undang-undang,” ujar Ketua DPC Peradi Padang, Miko Kamal, S.H., M.H., Rabu (15/10).

Menurutnya, perilaku petugas yang bersikap kasar terhadap advokat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajiban pejabat publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan setiap aparatur bertindak berdasarkan asas profesionalitas, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

“Dalam konteks hukum administrasi, tindakan yang menghalangi advokat melaksanakan tugasnya dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” jelas Miko.

Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 juga menjamin hak advokat untuk bertemu kliennya, baik di tahap penyidikan, penuntutan, maupun saat klien menjalani masa tahanan. Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 54 KUHAP, yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari advokat sejak saat penyidikan.

“Artinya, setiap tindakan yang menghambat atau memperlakukan advokat secara tidak hormat di dalam lembaga pemasyarakatan berpotensi melanggar hukum acara pidana dan prinsip due process of law,” ujar Sekretaris DPC Peradi Padang, Mevrizal, S.H., M.H.

Ia menegaskan bahwa advokat bukan bawahan petugas rutan, melainkan mitra dalam sistem penegakan hukum. Karena itu, pembatasan atau intimidasi terhadap advokat ketika menjalankan tugas dapat mengganggu akses warga negara terhadap keadilan.

DPC Peradi Padang juga menyoroti Sistem Kunjungan Advokat di Rutan Kelas II B Padang yang dinilai belum mengedepankan prinsip pelayanan hukum. Beberapa advokat di Padang mengaku kerap menghadapi pembatasan waktu, pemeriksaan berlebihan, serta perlakuan diskriminatif saat hendak bertemu klien.

“Kami menilai perlu dilakukan revisi terhadap SOP internal rutan agar sejalan dengan ketentuan UU Advokat dan hak asasi manusia. Advokat tidak boleh diperlakukan seperti pengunjung umum,” tegas Mevrizal.

Langkah ini, menurutnya, harus menjadi perhatian serius Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Wilayah Sumatera Barat, karena insiden seperti ini dapat merusak citra lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

DPC Peradi Padang berencana mengirimkan surat resmi kepada Kepala Kanwil Kemenkumham Sumatera Barat untuk meminta klarifikasi, sanksi terhadap pelaku, dan revisi sistem pelayanan advokat di lapas dan rutan.

“Peradi tidak akan berhenti pada kecaman moral. Kami menuntut tanggung jawab institusional. Karena penghormatan terhadap advokat adalah tolak ukur tegaknya supremasi hukum,” tegas Miko.

Menurut pengamat hukum tata negara dan advokat senior, tindakan kasar terhadap advokat dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran etika aparatur negara dan pelanggaran hukum administratif. Ia menilai perlu ada mekanisme disiplin internal dan supervisi eksternal untuk memastikan profesionalitas di lapas dan rutan.

Dalam kerangka hukum positif, ada beberapa dasar hukum yang melindungi advokat dalam menjalankan profesinya:

1. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18/2003 — advokat penegak hukum yang bebas dan mandiri.

2. Pasal 14 ayat (1) UU No. 18/2003 — advokat berhak bertemu klien di rutan/lapas.

3. Pasal 54 KUHAP — hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum.

4. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 — jaminan atas perlakuan yang adil di hadapan hukum.

5. UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan — larangan penyalahgunaan wewenang dan kewajiban menjaga kepentingan hukum warga.

“Kejadian ini menjadi pengingat bahwa supremasi hukum bukan hanya soal peraturan tertulis, tapi soal budaya saling menghormati antarpenegak hukum,” tutup Miko Kamal.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini