Kaum Dt. Mara Bangso Tegaskan H. Febby Tak Lagi Berhak Memakai Gelar Penghulu, Langgar Perjanjian 2011
Crew8 News – Tanah Datar
Tanah Datar,- Polemik adat di Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, akhirnya berujung pada keputusan tegas. Kaum Dt. Mara Bangso dan Dt. Bangso Kayo dari Suku Koto secara resmi mencabut hak pemakaian gelar penghulu “Dt. Bangso Nan Putiah” yang selama ini disandang oleh Febby, seorang politisi asal Tanah Datar yang dikenal pernah menjabat sebagai Ketua DPW PKB Sumatera Barat dan DPW Hanura Sumatera Barat.
Keputusan itu disampaikan melalui Surat Penarikan Gala Yang Dipinjamkan, tertanggal 12 September 2025, setelah sebelumnya Febby dua kali menerima surat teguran adat pada 29 Juli dan 19 Agustus 2025.
Pencabutan dilakukan karena ditemukan perubahan nama gelar adat yang tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Pemakaian Gelar Penghulu bertanggal 31 Maret 2011 yang ditandatangani di hadapan ninik mamak dan disahkan oleh Wali Nagari Gurun, Wali Jorong Gurun, serta Ketua KAN Gurun.
Dalam perjanjian tahun 2011 tersebut, Firman Dt. Mara Bangso selaku pihak pertama meminjamkan gelar Dt. Bangso Nan Putiah kepada Febby (pihak kedua) untuk dipakai seumur hidup dengan sejumlah syarat adat.
Salah satunya, penerima gelar tidak boleh mengubah nama atau bentuk gelar, serta wajib menjaga marwah kaum, pusako, dan nagari.
Namun, dalam sejumlah publikasi dan spanduk politik, Febby diketahui menuliskan gelarnya menjadi “Dt. Bangso”, tanpa embel-embel Nan Putiah.
Perubahan tersebut dianggap pelanggaran terhadap kesepakatan adat dan moral perjanjian yang telah disumpahkan di hadapan Al-Qur’an.
“Perjanjian adat itu jelas. Jika dilanggar, maka gala dikembalikan kepada kaum asal. Kami sudah beri teguran dua kali, namun tidak diindahkan,” tegas salah satu niniak mamak Kaum Dt. Mara Bangso kepada Crew8 News.
Dalam surat penarikan yang ditandatangani oleh Datuak Mara Bangso dan Datuak Bangso Kayo, kaum menyatakan bahwa sejak tanggal 12 September 2025, Febby tidak lagi dibenarkan memakai gelar Dt. Bangso Nan Putiah maupun bentuk singkatannya.
Surat tersebut menyebutkan bahwa langkah ini diambil “demi menjaga marwah adat dan keutuhan kaum di Nagari Gurun”, serta melindungi hak pusako tinggi yang tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau politik.
Febby, pria kelahiran Tanah Datar ini, dikenal luas di kancah politik Sumatera Barat. Selain pernah memimpin dua partai besar di tingkat provinsi, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik daerah.
Namun kini, status adatnya tengah menjadi sorotan setelah keputusan resmi kaum yang mencabut gala yang telah dipegangnya selama lebih dari satu dekade.
Dalam konteks adat Minangkabau, gala penghulu adalah amanah kaum, bukan hak pribadi, sehingga pelanggaran terhadap sumpah adat dianggap bentuk pengkhianatan terhadap nilai pusako dan marwah kaum.
Keputusan pencabutan ini menegaskan prinsip bahwa adat dan sako bukan sekadar simbol, melainkan tanggung jawab moral dan sosial.
Ninik mamak berharap keputusan ini menjadi pelajaran bagi seluruh pemegang gala agar tidak menjadikan gelar penghulu sebagai alat politik atau pencitraan pribadi.
“Marwah adat harus dijaga. Gala bukan atribut politik, tapi amanah kaum yang suci. Kalau adat dilanggar, pusako bisa rusak, marwah bisa hilang,” ujar salah seorang penghulu Nan Sambilan.
(C8N)
#senyuman08






