Editorial Crew8 News
Bau Amis Jejak Gayus Tambunan di Kabupaten Solok: Ketika Pelanggaran Menjadi Sumber Pendapatan
Bau amis itu mulai tercium lagi, bukan dari air Danau Kembar yang mulai keruh, tapi dari meja-meja birokrasi yang mencatat angka pajak tanpa izin, dan izin tanpa dasar hukum.
Ia mengingatkan publik pada satu bab gelap dalam sejarah perpajakan Indonesia, jejak Gayus Tambunan, simbol bagaimana uang bisa membuat hukum bertekuk lutut.
Kini, bayangan itu hidup kembali di Kabupaten Solok, dalam bentuk yang lebih halus namun tak kalah busuk, pelanggaran yang dilegalkan atas nama Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kabupaten Solok mengumumkan hasil tindak lanjut penertiban kawasan wisata Danau Kembar dengan semangat transparansi.
Dalam laporan resminya, pemerintah mengakui puluhan usaha wisata belum memiliki izin lengkap, dari PKKPR hingga izin lingkungan dan PBG.
Namun di lembar lain dari laporan yang sama, pemerintah mencatat bahwa sebagian besar dari usaha yang belum sah itu tetap dipungut pajak dan bahkan diakui sebagai wajib pajak aktif.
Inilah paradoks yang membentuk wajah birokrasi Solok hari ini, menegakkan aturan dengan tangan kanan, sambil menerima hasil pelanggaran dengan tangan kiri.
Birokrasi yang seharusnya menegakkan hukum kini justru menegakkan pendapatan.
Pemungutan pajak dari usaha yang belum berizin adalah pelanggaran terhadap asas legalitas fiskal yang diatur dalam undang-undang.
Namun, dalam sistem yang telah lama dikompromikan oleh target PAD, hukum tidak lagi menjadi pagar moral, ia hanya menjadi garis dekoratif di laporan keuangan.
Legalitas menjadi soal administratif, sementara angka menjadi ukuran keberhasilan.
Sistem ini berjalan karena semua pihak membiarkan.
Koordinasi antar dinas lumpuh.
Perizinan dan pajak berjalan di dua jalur yang tak pernah bersinggungan.
Selama ada aktivitas ekonomi, uang tetap bisa ditarik, soal izin, nanti dibenahi di belakang.
Birokrasi tidak lagi tunduk pada norma hukum, melainkan pada logika penerimaan.
Inilah yang membuat publik resah, aroma itu terlalu familiar.
Bau amis yang dulu keluar dari ruang Direktorat Pajak kini tercium dari tepi danau.
Bedanya, di sini tidak ada satu pun orang bernama Gayus, yang ada adalah sistem yang meniru langkahnya, mengubah pelanggaran menjadi potensi, dan potensi menjadi pendapatan.
Gayus tidak lagi berbentuk manusia, tetapi berubah menjadi pola pikir, bahwa selama uang masuk, aturan bisa ditunda.
Birokrasi daerah kini menciptakan versinya sendiri, Gayus Tambunan versi Solok, yang beroperasi lewat formulir, sertifikat “taat pajak”, dan laporan PAD yang tampak rapi di permukaan tapi busuk di dalam.
Praktik ini tidak lahir semalam.
Ia tumbuh dari kebiasaan yang dibiarkan berulang, dari sistem yang tidak pernah disinkronkan, dari ketidaktegasan yang berubah menjadi pembenaran.
Pemungutan pajak dari usaha tanpa izin tampaknya telah berlangsung bertahun-tahun, menjadi bagian dari rutinitas fiskal yang dianggap wajar.
Dan di situlah penyakit birokrasi daerah berakar, bukan karena tidak tahu, tetapi karena sudah terlalu lama tahu dan memilih tidak peduli.
Pemerintah daerah bangga pada angka PAD yang meningkat, tapi lupa bertanya, dari mana uang itu datang?
Jika sebagian berasal dari pelanggaran yang mereka tegur sendiri, maka PAD itu bukan prestasi, melainkan paradoks.
Menerima uang dari pelanggaran berarti menukar prinsip dengan kenyamanan.
Kini, Pemkab Solok seperti terperangkap oleh sistemnya sendiri.
Menegakkan aturan berarti kehilangan penerimaan, sementara menerima penerimaan berarti melanggar aturan.
Dalam dilema itu, pemerintah memilih diam, dan diam adalah bentuk paling sunyi dari kejahatan birokrasi.
Birokrasi yang takut kehilangan pendapatan akan selalu memelihara pelanggaran, karena dari sanalah uangnya berasal.
Dan selama uang lebih penting daripada kebenaran, maka hukum hanya akan menjadi alat penyeimbang moral di atas kertas laporan tahunan.
Pemerintah Kabupaten Solok tidak sedang membutuhkan pencitraan baru, melainkan keberanian moral untuk membersihkan dirinya.
Keberanian untuk mengakui kesalahan sistemik, untuk menghentikan pungutan dari usaha yang belum sah, dan untuk memulihkan kembali kepercayaan publik yang mulai busuk oleh aroma amis ini.
Birokrasi yang sehat bukan yang paling banyak memungut, tetapi yang paling taat pada hukum.
pendapatan tanpa kejujuran hanyalah hasil dari pembiaran.
Dan pada akhirnya, bukan Danau Kembar yang perlu direhabilitasi, tapi sistem birokrasi yang mengelilinginya, yang kini keruh oleh jejak-jejak Gayus Tambunan yang kembali mengemuka dalam wujud baru.
(C8N)
#senyuman08






