“Birokrasi Lamban, Ekonomi Ikut Pelan: Uang Negara Mengalir Lesu di Sumbar”
Crew8 News
Padang, – Hingga minggu ketiga Oktober 2025, hampir 400 paket pekerjaan di lingkungan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Sumatera Barat belum terkontrak. Kondisi ini kembali memunculkan sorotan tajam terhadap kinerja birokrasi Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan Mahyeldi–Vasko, yang dinilai belum mampu sepenuhnya menanggalkan cap “pemerintahan lamban” yang sudah lama melekat.
Paket-paket tersebut meliputi jalan usaha tani (JUT) dan irigasi kecil (JITUT) dengan total nilai sekitar Rp75 miliar yang bersumber dari dana pokok pikiran (pokir) DPRD Sumbar. Lambannya realisasi kontrak membuat waktu pelaksanaan kegiatan semakin sempit, sementara kebutuhan petani terhadap sarana produksi semakin mendesak.
akibat keterlambatan ini tidak tertutup kemungkinan pekerjaan tidak akan seratus persen, mengingat cuaca telah mulai masuk musim hujan dan kendala lainnya begitu juga dengan kwalitas pekerjaan juga jadi pertaruhan.
Lambannya pelaksanaan program pertanian ini menjadi ironi di tengah laporan lembaga ekonomi nasional yang mencatat pertumbuhan ekonomi Sumbar hanya 3,9 persen,vberada di urutan 31 dari 38 provinsi dan terendah di Pulau Sumatera.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan janji kampanye Mahyeldi–Vasko yang menargetkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat sebagai yang tertinggi di Sumatera.
Bagi masyarakat bawah, terutama tukang, buruh, dan petani, keterlambatan realisasi proyek berarti hilangnya sumber pendapatan. Mereka kehilangan daya beli di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, sementara sebagian besar proyek fisik daerah belum bergerak.
Fenomena kelambanan bukan hal baru di Dinas Pertanian. Pada tahun 2024, lebih dari 80 paket pekerjaan gagal dilaksanakan dan akhirnya diluncurkan ulang pada APBD 2025.
Namun hingga Oktober tahun ini, kondisi serupa kembali terjadi, menandakan bahwa pergantian pejabat belum menyentuh akar masalah.
Banyak kalangan menilai persoalan justru berada di tingkat teknis, para Kabid yang merangkap sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), yang menjadi motor pelaksana kegiatan di lapangan.
Dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Sumbar, Ir. Afniwirman, menjelaskan bahwa proses PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa) telah berjalan dan sebagian besar kegiatan kini telah terkontrak.
“Semua sedang berproses, dan sebagian paket sudah terkontrak. Untuk lebih detailnya, informasi ada di KPA atau UPTD yang menangani langsung,” ujar Afniwirman, jumat (25/10/2025).
Sementara itu, Kabid Dinas PTPH, Syofrinaldi, menegaskan bahwa seluruh pekerjaan telah terkontrak per 22 Oktober 2025.
“Info sementara, semua pekerjaan sudah terkontrak per 22 Oktober. Pekerjaan kami bertahap, sejak Agustus sudah ada yang kontrak,” ujarnya kepada Crew 8 News, Jumat (25/10/2025).
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa meski proses kontraktual telah rampung, penyelesaiannya berlangsung lambat dan bertahap, menimbulkan kesan adanya percepatan mendadak setelah mendapat sorotan publik.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat, Arry Yuswandi, S.KM, M.KM, yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, tidak menampik adanya keterlambatan di awal proses.
“Proses PBJ sedang berjalan. Dinas PTPH sudah membentuk tim kerja, dan kegiatan ini dipantau langsung oleh Biro PBJ. Dinas juga sudah dievaluasi dan diminta menuntaskan seluruh pekerjaan sampai akhir tahun 2025,” tulis Arry (24/10/2025).
Pernyataan Sekda ini memperkuat bahwa evaluasi baru dilakukan setelah muncul sorotan publik terkait serapan anggaran yang lamban.
Dinas Pertanian hanyalah satu dari sekian banyak OPD yang mengalami perlambatan proses PBJ. Jika di satu dinas saja kontrak baru rampung di akhir Oktober, maka besar kemungkinan dinas-dinas lain menghadapi situasi serupa.
Hal ini menandakan bahwa percepatan serapan anggaran tidak berjalan proporsional antar-OPD, dan bahwa sistem manajemen proyek di lingkungan Pemprov Sumbar masih belum efisien.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks yang mencolok antara instruksi pemerintah pusat dan realisasi di daerah.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berulang kali menegaskan pentingnya percepatan serapan dana Transfer ke Daerah (TKD) agar uang negara cepat berputar dan ekonomi rakyat bergerak.
“Uang negara harus cepat beredar di daerah agar ekonomi rakyat bergerak. Kalau serapan lambat, pertumbuhan pasti ikut melambat,” tegas Menkeu Purbaya dalam berbagai kesempatan.
Namun kenyataan di Sumatera Barat menunjukkan hal sebaliknya,!uang bergerak pelan, serapan rendah, dan pertumbuhan ekonomi ikut melambat.
Ironisnya, di tengah kelambanan tersebut, Gubernur Mahyeldi beberapa waktu lalu justru mengajukan permohonan tambahan dana ke Menteri Keuangan Purbaya dengan alasan keterbatasan fiskal daerah.
Kondisi ini menimbulkan kesan kontradiktif, meminta tambahan anggaran, sementara dana yang sudah ada belum dikelola dengan optimal.
Kasus di Dinas Pertanian hanyalah satu potret dari persoalan besar yang membelit birokrasi Pemprov Sumbar, budaya kerja lamban, lemahnya kontrol teknis, dan minimnya sense of urgency.
Meski seluruh kontrak yang katanya kini telah rampung, kecepatan yang muncul di akhir tahun bukan bukti efisiensi, melainkan gejala sistem yang bekerja karena tekanan waktu dan sorotan publik.
Jika Gubernur Mahyeldi–Vasko serius ingin menanggalkan stigma “pemerintahan lamban”, maka evaluasi harus dilakukan menyeluruh hingga level Kabid dan PPK, bukan sekadar mengganti kepala dinas.
Tanpa langkah tegas dan reformasi manajemen waktu, Sumatera Barat akan terus berada dalam lingkaran klasik:
anggaran besar, realisasi lambat, dan janji kemajuan yang tak kunjung nyata.






