Dari Ruang Hukum ke Panggung Etika: Djupri Efendi dan Perlawanan terhadap Bayang-Bayang Staf Khusus Kepala Daerah

Crew8 News, KOTABARU ,- Di tengah derasnya arus politik pasca pilkada dan praktik birokrasi yang kerap terseret kepentingan pribadi, satu suara lantang terdengar dari ujung tenggara Kalimantan Selatan, suara seorang advokat yang memilih berdiri pada sisi regulasi dan akuntabilitas.

Dialah Djupri Efendi, S.H., Ketua Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) DPC Kotabaru.

Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan awal pekan ini, Djupri menyatakan dukungan total terhadap kebijakan Pemerintah Pusat, khususnya larangan pengangkatan staf khusus kepala daerah kabupaten/kota oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).

“Sudah waktunya kepala daerah bekerja tanpa bayang-bayang balas budi politik, kita harus kembalikan arah birokrasi pada pelayanan publik, bukan akomodasi personal pasca pilkada,” ujar Djupri dengan tegas saat ditemui di kantornya, Selasa (17/6).

Sebagai seorang praktisi hukum yang sempat menjadi bagian dari Tim Hukum pasangan Bupati-Wakil Bupati terpilih Rusli–Syairi dalam Pilkada 2024 lalu, Djupri memilih jalannya sendiri, Ia tak tergoda oleh tawaran kekuasaan, apalagi jika itu bersifat transaksional.

“Kalau pun ditawari menjadi staf khusus, saya menolak, bukan karena sombong, tapi karena kita harus memberi teladan patuh pada hukum dan regulasi,” ungkapnya sambil menunjukkan berkas tebal berisi salinan aturan kepegawaian dan surat edaran BKN.

Menurut catatan HAPI, tren pengangkatan staf khusus kepala daerah mengalami lonjakan pasca pilkada serentak sejak 2015.

Fenomena ini bukan hanya soal pengangkatan jabatan non-struktural tanpa seleksi, tetapi juga menjadi pintu masuk praktik nepotisme, dualisme komando, dan pengurasan anggaran daerah.

Djupri memaparkan bahwa sebagian besar staf khusus tidak melalui mekanisme terbuka.

“Yang diangkat biasanya bukan karena keahlian, tapi karena loyalitas politik, Ini merusak sistem, ASN pun jadi enggan bicara karena dikunci oleh penasihat bayangan,” ujarnya.

Tak hanya dari sisi etika birokrasi, persoalan ini juga menyentuh aspek kerugian negara, honorarium, tunjangan perjalanan, dan fasilitas kerja staf khusus dibayarkan dari anggaran publik, yang menurut Djupri justru bisa dialihkan untuk program pelayanan dasar atau pengangkatan tenaga honorer.

Melalui DPC HAPI Kotabaru, Djupri mendorong empat langkah konkret yang tak hanya bersifat himbauan, tetapi juga strategi pengawasan hukum:

1. Kemendagri diminta tidak menyetujui alokasi anggaran staf khusus dalam APBD;

2. BPK dan BPKP diminta mengaudit penggunaan dana non-struktural yang menyimpang;

3. KPK, Kejaksaan, dan Tipikor Polri didorong menyelidiki pengangkatan staf ilegal;

4. Masyarakat sipil diminta aktif melaporkan indikasi nepotisme kepada kanal resmi pemerintah pusat.

“Ini bukan hanya soal efisiensi anggaran. Ini ujian awal apakah kepala daerah tunduk pada agenda nasional Presiden Prabowo, yang salah satunya menekankan penataan birokrasi ramping dan supremasi hukum melalui Asta Cita,” kata Djupri.

Di balik ketegasannya, Djupri bukan tanpa dilema, Ia paham betul bagaimana politik lokal bekerja, namun bagi dirinya, menjadi advokat adalah menjadi penjaga prinsip, bukan pelayan kekuasaan.

“Bupati itu bukan raja, dia penyelenggara negara, Kalau kita biarkan staf khusus ilegal ini terus bertumbuh, maka kita sedang melanggengkan kebusukan birokrasi,” pungkasnya.

Djupri dan HAPI DPC Kotabaru menyatakan siap menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa perintah pusat ini tidak sekadar berhenti di atas kertas, bagi mereka, ini adalah perang melawan warisan politik transaksional.

Dan seperti halnya advokat sejati, Djupri memilih berdiri di sisi hukum, meskipun kadang harus melawan arus yang sedang berkuasa.

(Alfin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini