DITINGGALKAN PUSAT? Isu Korupsi dan Fenomena Menurunnya Kepercayaan pada Gubernur Mahyeldi

Oleh: Redaksi crew8 News

Dalam senyap namun nyata, sebuah pergeseran diam-diam tengah berlangsung di panggung pemerintahan Sumatera Barat, Sejumlah pejabat penting dari pusat, menteri, wakil menteri, hingga kepala lembaga negara, tampak lebih akrab dan intens membangun komunikasi dengan Wakil Gubernur Vasko Ruseymi ketimbang Gubernur Mahyeldi Ansharullah.

Dalam beberapa agenda kunjungan, Mahyeldi tak lagi menjadi titik temu utama, Justru Vasko, yang baru menjabat sebagai Wakil Gubernur, lebih sering tampil sebagai wajah pemprov di hadapan pejabat pusat.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah ini sekadar penyesuaian protokoler? Ataukah ini sinyal politik atas merosotnya kepercayaan pusat terhadap Mahyeldi?

Sejak periode pertama, kepemimpinan Mahyeldi telah dibayang-bayangi oleh sejumlah dugaan praktik korupsi dan penyimpangan kebijakan, mulai dari pengelolaan anggaran pembangunan, bantuan sosial, proyek pendidikan, hingga yang paling baru, pengadaan videotron dan pengelolaan dana hibah dan bansos yang menyeret nama sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov.

Beberapa laporan bahkan sudah masuk ke penegak hukum seperti Kejaksaan dan KPK, namun publik melihat, langkah penegakan hukum seperti jalan di tempat, di sisi lain, kegagalan Mahyeldi melakukan reformasi birokrasi membuat skandal lama seolah hidup kembali di periode keduanya ini.

Di sinilah titik kritis mulai terbentuk, pusat, dengan standar integritas yang makin diperketat di bawah arahan Presiden Prabowo, diduga mulai mengambil langkah jaga jarak terhadap pemimpin daerah yang rentan menimbulkan polemik hukum dan politik.

Dalam catatan media, sejak Vasko Ruseymi resmi dilantik sebagai Wakil Gubernur, sejumlah pejabat pusat yang berkunjung ke Sumbar tampak lebih memilih berdiskusi dan meninjau program daerah bersama Vasko, bahkan beberapa rapat strategis nasional pun hanya mencantumkan kehadiran Vasko sebagai representasi Pemerintah Provinsi Sumbar.

“Ini gejala politik yang patut dicermati, ketika pusat lebih memilih Wagub ketimbang Gubernur, itu bukan sekadar selera pribadi, bisa jadi ada assessment politik dan hukum yang membuat Mahyeldi dianggap bukan lagi figur strategis,” ujar seorang analis politik lokal yang enggan disebut namanya.

Apalagi, Vasko Ruseymi dikenal lebih teknokratis, minim konflik, dan tak memiliki rekam jejak polemik dengan partai maupun aparat penegak hukum.

Dalam banyak kesempatan, ia juga tampil lebih terbuka dalam menjawab persoalan publik, termasuk soal tata kelola keuangan daerah.

Pemerintah pusat mungkin tidak pernah secara terang menyatakan telah “membatasi” Gubernur Mahyeldi, namun, dalam bahasa politik, pembatasan tidak harus diumumkan, cukup dengan tidak melibatkan, tidak mengundang, dan tidak berkonsultasi secara aktif.

Dalam politik kekuasaan, ini adalah bentuk sanksi tak tertulis, sebuah peringatan dini bahwa kepercayaan tidak lagi penuh,

Mahyeldi, meski masih berstatus gubernur secara de jure, kini tampaknya sedang mengalami penurunan kepercayaan secara de facto.

Jika tren ini berlanjut, Sumatera Barat bisa menghadapi ketimpangan komunikasi antara pusat dan daerah, yang berpotensi merugikan masyarakat, karena itu, DPRD dan elemen masyarakat sipil perlu mengambil posisi, mendesak transparansi, memulihkan tata kelola pemerintahan, dan menuntut klarifikasi dari Mahyeldi terhadap isu-isu yang selama ini dibiarkan menggantung.

Bagi Mahyeldi sendiri, ini seharusnya menjadi alarm politik, Saatnya keluar dari posisi defensif dan mulai melakukan koreksi serius, Jika tidak, bukan tidak mungkin masa jabatannya akan tercatat sebagai periode yang ditandai oleh krisis legitimasi, bukan karena kalah di pemilu, tetapi kalah dalam kepercayaan publik dan elite.

(C8N)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini