Editorial Redaksi
Enam bulan bukanlah waktu yang panjang dalam sebuah periode pemerintahan, namun, enam bulan cukup untuk menilai arah, gaya, dan prioritas kepemimpinan.
Bupati Jon Firman Pandu (JFP) dan Wakil Bupati Chandra memulai masa jabatan mereka pada 20 Februari lalu dengan membawa suasana baru, sejuk, damai, dan merangkul semua pihak.
Slogan “Biduak lalu, kiambang batawik” tidak hanya menjadi retorika di panggung-panggung resmi, tetapi benar-benar menjadi pendekatan yang meredam ketegangan pasca-pilkada.
Mereka sadar, 70 persen aparatur pemerintahan sebelumnya berada di kubu berlawanan, namun, enam bulan ini mereka berhasil menghindari politik balas dendam yang sering menjadi penyakit transisi kekuasaan di daerah.
Aparatur dirangkul, komunikasi dibangun, dan suasana kerja relatif kondusif.
Harmoni adalah modal, bukan garis finish. ia hanya memberi ruang agar roda pemerintahan bisa berjalan tanpa hambatan awal, tetapi, tanpa langkah konkret membenahi masalah mendasar, harmoni akan berakhir menjadi ilusi yang menguap seiring waktu.
Kini, setelah enam bulan berlalu, publik menuntut lebih, bukan lagi sekadar senyum ramah dalam kunjungan kerja, tetapi keberanian memutus mata rantai masalah yang sudah terlalu lama bercokol.
Hasil Panitia Khusus (Pansus) DPRD terkait reklamasi Danau Di Atas menjadi alarm pertama, temuan ini selaras dengan pengamatan OPD teknis di lapangan, membuktikan bahwa pelanggaran tata ruang, lemahnya pengawasan, dan ketidakpatuhan terhadap regulasi memang nyata, kinerja OPD terkait perlu dibenahi, bukan ditutupi.
Redaksi mencatat sedikitnya tujuh persoalan krusial yang harus segera ditangani:
1. Kualitas birokrasi , Implementasi regulasi dan pelayanan publik masih belum konsisten, Profesionalisme ASN perlu ditingkatkan, termasuk keberanian melawan budaya ABS (asal bapak senang).
2. Pungli berkedok komite sekolah, Sebuah ironi di tengah program nasional pendidikan gratis dan makan bergizi, lebih parah lagi jika melibatkan pejabat atau anggota legislatif yang seharusnya menjadi pengawas moral.
3. Koperasi internal, KMP, dan koperasi di bawah Dinas Koperindag , banyak yang mati suri atau dikelola tanpa transparansi, padahal koperasi seharusnya menjadi motor ekonomi kerakyatan.
4. Tata kelola pupuk subsidi, pelanggaran harga eceran tertinggi dan distribusi tidak tepat sasaran masih sering terjadi, menambah beban petani di tengah biaya produksi yang tinggi.
5. Program “Solok Bersih” , Visi mulia, tetapi masih lemah di implementasi, kebersihan lingkungan memerlukan konsistensi dan partisipasi masyarakat yang digerakkan secara nyata.
6. Pembalakan liar di Sariak Bayang , ancaman langsung bagi kelestarian hutan dan lingkungan hidup, penegakan hukum harus berjalan tanpa kompromi.
7. Proyek Geothermal , statusnya belum jelas, menyisakan ruang spekulasi yang bisa memicu gesekan jika tidak dikelola secara transparan.
Tidak semua berita bernada suram, ada langkah cepat yang telah diambil, seperti evaluasi langsung distribusi pupuk, perintah penindakan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga himbauan tegas kepada pejabat teknis untuk tidak alergi terhadap media.
Pesan ini penting, media adalah mitra dalam menginformasikan kinerja pemerintah kepada publik, bukan lawan yang harus dihindari.
Namun, langkah cepat hanya akan berarti jika diikuti sistem perbaikan yang berkelanjutan, inspeksi mendadak bisa memadamkan api sementara, tetapi tidak menghentikan sumber kebakaran.
Regulasi memberi ruang bagi kepala daerah untuk melakukan mutasi, rotasi, atau demosi pejabat eselon II setelah enam bulan menjabat, inilah momentum emas bagi JFP–Chandra untuk menguji komitmen mereka terhadap reformasi birokrasi.
Editorial ini menegaskan bahwa mutasi bukan sekadar kewenangan administratif, melainkan alat strategis untuk memastikan bahwa setiap posisi diisi oleh orang yang tepat. “Orang tepat di tempat yang tepat” bukan jargon manis, tetapi syarat mutlak agar program daerah berjalan efektif.
Kriteria penilaian harus jelas, integritas, kompetensi, profesionalitas, dan loyalitas terhadap visi daerah, loyalitas di sini bukan loyalitas politik, melainkan loyalitas kepada kepentingan masyarakat dan arah pembangunan yang telah dicanangkan.
Menunda perombakan birokrasi berarti membiarkan masalah yang sudah terpetakan tetap bercokol, aparatur yang lemah kinerjanya akan terus menghambat, sementara mereka yang berintegritas akan kehilangan motivasi jika tidak diberi ruang.
Lebih dari itu, publik bisa kehilangan kepercayaan, dan kepercayaan yang hilang sulit untuk dipulihkan.
Enam bulan pertama telah menunjukkan bahwa harmoni bisa dijaga, enam bulan berikutnya akan menguji apakah harmoni itu dapat diubah menjadi mesin perubahan? ini bukan sekadar soal jabatan, tetapi soal keberanian mengambil keputusan yang mungkin tidak populer namun benar untuk kepentingan jangka panjang.
Masa depan Kabupaten Solok akan ditentukan oleh apakah JFP–Chandra memilih jalan aman dengan mempertahankan status quo, atau jalan berani dengan membersihkan hambatan dari dalam.
Sejarah kepemimpinan di banyak daerah menunjukkan, mereka yang berani melakukan reformasi birokrasi di awal masa jabatan adalah mereka yang meninggalkan jejak perubahan paling nyata.
Editorial ini mengajak JFP–Chandra untuk tidak menyia-nyiakan momentum.
Publik telah memberi mereka mandat dan kepercayaan, kini saatnya membayar amanah itu, bukan hanya dengan harmoni, tetapi dengan langkah nyata yang menempatkan Kabupaten Solok pada jalur kemajuan yang berkelanjutan.
(C8N)
#senyuman08