Geothermal Ditolak, Pupuk Subsidi Dilupakan

crew8news – Editorial Redaksi

Aksi peringatan Hari Tani Dunia di Arosuka, Selasa (23/9), menyisakan catatan penting bagi kita semua. Sekitar 150 orang yang mengatasnamakan “Salingka Gunung Talang” turun ke jalan, menolak rencana pembangunan geothermal di Batubajanjang Bukit Sileh. Aspirasi ini tentu sah secara demokratis. Namun, substansi yang diangkat terasa jauh dari kebutuhan riil petani hari ini.

Bertahun-tahun petani di Sumatera Barat menjerit karena pupuk subsidi tidak pernah sesuai harga eceran tertinggi (HET). Di atas kertas, negara sudah menjamin hak petani melalui Permentan, mengatur hak dan kewajiban, bahkan mewajibkan petani mendaftarkan RDKK. Namun, apa yang terjadi? Ketika hak sudah dijalankan, negara justru gagal menunaikan kewajibannya. Pupuk dijual di atas harga subsidi, bahkan tembus Rp150 – 200 ribu per sak.

Pertanyaannya sederhana, di mana suara demo? Mengapa Hari Tani Dunia tidak dijadikan momentum menuntut pupuk murah? Kenapa jeritan nyata petani yang terampas haknya justru luput dari sorotan? Kenapa semua diam selisih uang penebusan harga pupuk subsidi dari petani ini di negosiasikan dan di bagi bagi oleh pemangku kepentingan, semua diam?

Lebih ironis lagi, ketika kerusakan ekologis akibat aktivitas ilegal seperti tambang emas tanpa izin (PETI), ilegal logging, hingga pencemaran sungai berlangsung masif, tidak ada satu pun aksi massa yang menuntut penghentian aktivitas tersebut. Padahal dampaknya jauh lebih nyata, hutan gundul, air tercemar, perikanan hancur, kesehatan masyarakat terganggu. Semua senyap.

Namun giliran PSN geothermal, tiba-tiba ada mobilisasi besar. Massa dengan rapi mengusung narasi kerusakan lingkungan, padahal proyek ini dilengkapi teknologi pengendalian dampak. Fenomena ini bukan baru. Kita masih ingat, Air Bangis ribut berjilid-jilid hingga proyek batal. Tanah Datar pun demikian, PLTS ditolak. Kini pola itu diulang di Kabupaten Solok.

Sulit untuk menutup mata. Pola seperti ini lebih mirip “mobilisasi demo pesanan” ketimbang murni suara rakyat. Ada skenario elit yang menjadikan masyarakat sebagai alat tawar-menawar. Dan sayangnya, masyarakat kembali terseret arus, kehilangan arah dari substansi persoalan.

Padahal, jika berkaca ke Solok Selatan, geothermal terbukti mampu mendongkrak PAD hingga Rp70 miliar per tahun. Angka yang signifikan, yang bisa dipakai Pemkab mempercepat program pembangunan, memperbaiki layanan publik, hingga memperkuat daya saing ekonomi daerah.

Lantas, apakah Kabupaten Solok rela tetap miskin PAD, hanya karena isu yang dikemas dengan manis? Apakah masyarakat tidak berpikir jauh bahwa penolakan ini sama saja menutup pintu peluang kesejahteraan mereka sendiri?

Di sisi lain, DPRD dan Pemkab juga tidak bisa lepas tangan. Kecurigaan masyarakat sering muncul karena minimnya transparansi. Jangan ulangi kesalahan lama, diam, tertutup, baru bergerak setelah isu membesar. Inilah saatnya pemerintah daerah tampil dengan sosialisasi yang jujur, terang benderang, melibatkan ahli, membuka data dampak dan manfaat.

Kalau terus dibiarkan, masyarakat akan mudah digiring dengan informasi sesat, lalu terjebak pada pilihan yang justru merugikan mereka sendiri.

Hari Tani Dunia seharusnya menjadi momentum emas bagi petani bersuara lantang memperjuangkan hal-hal mendasar, pupuk, harga hasil tani, akses pasar, dan perlindungan lahan. Namun yang terdengar justru slogan penolakan proyek strategis nasional.

Editorial redaksi melihat fenomena ini sebagai kegagalan membaca prioritas. Demo yang dilakukan bukan lagi soal perjuangan petani, melainkan soal agenda yang diarahkan. Aspirasi petani sejati justru dilupakan, digantikan oleh narasi yang jauh dari akar persoalan mereka.Gheotermal muncul tiba tiba dan terselip di aksi demo damai hari tani, tidak ada perdebatan di ranah publik atau medsos, tiba tiba muncul gerakan tolak gheothemal di hari tani.

“Geothermal ditolak, pupuk subsidi dilupakan.”
Itulah ironi Hari Tani di Sumatera Barat. Ketika hak yang paling nyata terampas tidak diperjuangkan, sementara isu yang lebih jauh justru diangkat habis-habisan.

Jika dugaan pola mobilisasi pesanan seperti ini terus dibiarkan, maka petani hanya akan jadi pion. Mereka teriak di jalan, tapi tetap merana di ladang. Mereka menolak perubahan, tapi kesejahteraan tak kunjung tiba.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini