Oleh: Redaksi
Langit politik nasional kembali diselimuti awan gelap, Belum beberapa bulan pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto berjalan, polemik soal posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sudah mengguncang fondasi kekuasaan dari dalam.
Dari sekadar bisik-bisik elit, kini suara desakan pemakzulan terhadap Gibran menggema ke ruang publik. Yang menabuh genderang: para jenderal purnawirawan TNI.
Surat resmi bertanggal 26 Mei 2025 yang dilayangkan ke DPR, MPR, dan DPD, dan ditandatangani empat jenderal bintang empat, bukanlah gertakan politik biasa.
Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, serta Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto menyatakan dengan gamblang bahwa Gibran cacat konstitusional dan tidak layak menjabat sebagai Wakil Presiden.
Mereka menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap penuh konflik kepentingan, karena diketok oleh pamannya sendiri, Anwar Usman.
Tak hanya itu, soal kapasitas Gibran juga menjadi sorotan. “Dengan pengalaman yang terbatas dan latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” tulis mereka dalam nada keras yang jarang terdengar dari kalangan militer purnawirawan.
Isu ini kemudian mendapat bensin tambahan dari komentar tajam mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Dalam kanal YouTube-nya, Mahfud memaparkan jalur konstitusional yang bisa ditempuh bila skenario pemakzulan benar-benar terjadi.
“Jika Wapres berhalangan tetap atau dimakzulkan, Presiden punya hak mengusulkan dua nama ke MPR,” ujar Mahfud, membuka kemungkinan reshuffle kekuasaan di level tertinggi negara.
Empat nama disebut Mahfud sebagai figur kuat: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Puan Maharani, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
AHY, yang kini menjabat Menko Infrastruktur, dinilai sebagai representasi generasi muda koalisi meskipun Mahfud menyiratkan dia belum menjadi poros utama.
Puan Maharani dan Ganjar Pranowo dari PDIP disebut sebagai opsi kompromi politik strategis.
Menariknya, Anies Baswedan, yang sebelumnya menjadi rival utama Prabowo-Gibran di Pilpres, ikut disodorkan Mahfud sebagai alternatif kejutan.
Apakah ini sinyal bahwa jalur kompromi politik lintas koalisi sedang dirancang?
Pertarungan ini lebih dari sekadar hukum tata negara. Ini adalah pertarungan persepsi, kekuasaan, dan legitimasi.
Putusan MK pada 2023 yang meloloskan Gibran telah lama menjadi bara dalam sekam. Putusan tersebut, menurut banyak pengamat, bukan hanya dipandang cacat secara etis, tetapi juga telah membuka luka dalam legitimasi konstitusional yang kini kembali menganga.
Pemerintahan Prabowo, yang di awal masa jabatannya ingin menampilkan citra kuat dan stabil, kini dihadapkan pada ujian integritas politik pertamanya.
Memilih mempertahankan Gibran berarti harus siap berhadapan dengan gelombang tekanan moral dan politik. Namun melepas Gibran, terlebih jika secara sukarela, bisa dianggap sebagai bentuk kelemahan di hadapan tekanan elit.
Jika pemakzulan berlanjut, maka pemilihan pengganti Wapres bukan sekadar soal personalia.
Ini bisa menjadi titik balik yang menentukan arah baru koalisi dan peta kekuasaan. Nama-nama yang disebut Mahfud bisa menjadi titik temu atau justru titik pecah baru dalam elit politik nasional.
PDIP, yang sempat menjadi oposisi setelah Pilpres, bisa saja kembali merapat jika Puan atau Ganjar benar-benar dipilih.
Namun itu akan membutuhkan kompromi besar, terutama dari Megawati yang masih menyimpan bara Pilpres. Di sisi lain, masuknya nama Anies bisa membuka poros baru oposisi yang bertransformasi menjadi mitra strategis.
Apapun itu, satu hal pasti, langkah Prabowo dalam beberapa pekan ke depan akan menentukan bukan hanya nasib Gibran, tetapi juga masa depan stabilitas pemerintahan dan arah demokrasi lima tahun ke depan.
Kini publik menunggu, apakah Gibran akan bertahan sebagai simbol keberanian melawan badai? Ataukah justru akan menjadi batu ujian yang menggoyang fondasi istana?
(C8N)