Crew8 News, Pulau Sipora, Mentawai – Sebuah surga kecil di barat Sumatra kini berada di tepi jurang kehancuran ekologis, izin eksploitasi hutan seluas 20.706 hektare diberikan kepada PT. Sumber Permata Sipora (PT. SPS), membuka luka baru bagi wilayah konservasi yang kian terhimpit investasi berbasis ekstraksi alam.
Setelah riuh protes terhadap ekspansi tambang nikel di Raja Ampat yang mengancam biodiversitas dan pariwisata berkelanjutan, kini sorotan publik beralih ke Kepulauan Mentawai. Pulau Sipora, yang selama ini dikenal dengan ombak kelas dunia dan komunitas adat yang kuat mempertahankan hutan serta pangan lokal mereka , justru dikhianati oleh kebijakan negara sendiri.
Pada 28 Maret 2023, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menerbitkan Persetujuan Komitmen PBPH atas nama PT. SPS, yang membuka jalan bagi pemanfaatan hasil kayu hutan alam dan jasa lingkungan di hutan produksi Pulau Sipora.
Ironisnya, dokumen izin tersebut diteken atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menilai kebijakan ini tidak layak lingkungan dan penuh cacat prosedural dan administratif, Investigasi mendalam terhadap dokumen perizinan mengungkap berbagai kejanggalan yang tidak bisa diabaikan.
Salah satu kejanggalan paling mencolok ditemukan dalam lampiran koordinat izin pemanfaatan ruang yang seharusnya berada di Sipora, namun justru tercatat berlokasi di Kota Bogor, Jawa Barat.
Dari 132 titik koordinat, semuanya menunjuk ke wilayah Kelurahan Ciwaringin, Bogor Tengah, dengan total luas 2.407 hektare.
Padahal izin PBPH PT. SPS adalah untuk kawasan di Sipora, Mentawai, dengan luas mencapai 20.706 hektare.
“Ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ini menunjukkan betapa sembrono dan tidak transparannya proses verifikasi perizinan,” ujar salah satu peneliti lingkungan dari koalisi, yang meminta namanya dirahasiakan karena alasan keamanan.
Selain kesalahan lokasi, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. SPS juga dinilai sarat kelemahan mendasar,
Data lingkungan tidak valid, banyak yang diambil dari Pulau Siberut, bukan Sipora.
Tidak ada informasi tentang satwa endemik atau kelompok masyarakat rentan, seperti perempuan pembudidaya toek, pangan lokal khas Mentawai.
Tidak ada kajian dampak pembangunan jalan sepanjang 130 km, termasuk sumber material, emisi, hingga potensi longsor.
Minim partisipasi publik , hanya empat warga dari tiap desa yang diundang dalam konsultasi, tanpa pengumuman terbuka yang menjangkau masyarakat luas.
“AMDAL ini disusun seperti dokumen tempelan, tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan,” ujar peneliti hukum lingkungan Universitas Andalas.
Pulau Sipora yang luasnya hanya 615,18 km² masuk kategori pulau kecil menurut UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 6 Tahun 2023, Undang-undang ini secara tegas melarang eksploitasi sumber daya secara besar-besaran dan menetapkan prioritas pemanfaatan untuk konservasi, pendidikan, riset, pariwisata berkelanjutan, serta ketahanan pangan.
Namun dalam kasus PT. SPS, aturan tersebut seakan tidak berlaku. Pemerintah pusat seolah menjadikan regulasi sebagai formalitas administratif, bukan pijakan etik dan ekologis.
“Ini pelanggaran prinsip lex specialis. UU pengelolaan pulau kecil seharusnya mengesampingkan UU kehutanan karena lebih khusus sifatnya,” jelas seorang ahli tata ruang yang tergabung dalam koalisi sipil.
Di luar sisi legal dan ekologis, rencana usaha ini juga berpotensi memperparah krisis kebencanaan, Sepanjang 2024, di Pulau Sipora tercatat 29 kejadian bencana , dari gempa, longsor, hingga banjir dan abrasi.
Bayangkan, di wilayah rawan seperti itu, akan ada pembukaan hutan skala besar, pembukaan jalan panjang, dan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap air dan penahan longsor.
“Kalau pohon-pohon ditebang, lalu datang hujan deras, siapa yang bisa menjamin air tidak akan mengalir deras ke permukiman? Ini soal nyawa,” kata seorang tokoh adat di Desa Saureinu.
Pulau Sipora bukan sekadar wilayah administratif, ia adalah rumah bagi masyarakat adat Mentawai yang hidup berdampingan dengan hutan, Mereka tidak hidup dari upah buruh, tetapi dari hasil hutan, sungai, dan pangan lokal.
Yang dipertaruhkan bukan hanya keberlanjutan lingkungan, tetapi juga identitas dan martabat masyarakat Mentawai.
“Setelah Raja Ampat dipaksa memilih antara tambang dan terumbu karang, kini Sipora dipaksa memilih antara kayu dan pangan lokal, Keduanya korban dari politik investasi yang rabun lingkungan dan tuli terhadap suara rakyat,” tutup Koalisi Masyarakat Sipil.
(C8N)