Crew8 News, Jakarta, 1 Juni 2025 — Pendiri Haidar Alwi Care (HAC) dan Haidar Alwi Institute (HAI), Haidar Alwi, menilai dunia tengah berada di titik balik penting dalam sejarah keuangan global seiring langkah Tiongkok mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam transaksi internasional.
Haidar menyoroti keputusan pemerintah Tiongkok yang pada 26 Mei 2025 lalu menginstruksikan seluruh perbankan nasional untuk meningkatkan penggunaan yuan dalam transaksi lintas negara hingga 40 persen, dari sebelumnya 25 persen.
“Keputusan ini bukan hanya teknis, tetapi memiliki dampak strategis besar terhadap stabilitas sistem keuangan global yang selama ini berporos pada dolar AS,” kata Haidar dalam keterangannya, Sabtu (1/6).
Ia menambahkan, pergeseran kekuatan keuangan ini tidak dilakukan melalui konflik bersenjata, melainkan lewat kalkulasi ekonomi yang sistematis dan tenang, dipimpin oleh Tiongkok.
Tiongkok, menurut Haidar, secara konsisten membangun ekosistem keuangan yang terpisah dari dominasi Barat, salah satunya dengan sistem pembayaran lintas negara CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) yang kini digunakan lebih dari 60 negara. Selain itu, Tiongkok juga telah mengembangkan mata uang digital e-CNY yang mulai digunakan dalam kontrak perdagangan dengan negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.
“Ini bukan sekadar tantangan terhadap dominasi dolar, tetapi upaya membangun sistem keuangan dunia versi Tiongkok sendiri. Sistem itu lebih cepat, lebih murah, dan bebas dari tekanan politik maupun sanksi luar,” ujarnya.
Haidar menilai langkah ini mengancam kontrol Amerika Serikat atas arus perdagangan global. Negara-negara yang menjadi target sanksi AS, seperti Iran dan Venezuela, disebutnya telah beralih ke sistem pembayaran digital Beijing. Negara berkembang lainnya juga mulai tertarik karena sistem baru itu menawarkan otonomi dari tekanan geopolitik.
Dalam konteks ini, Haidar menekankan pentingnya Indonesia untuk bersikap proaktif, bukan hanya menjadi penonton. Menurutnya, Indonesia harus menentukan arah baru dalam tiga agenda strategis utama:
1. Kemandirian Sistem Pembayaran dan Pembiayaan Proyek Nasional
Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada sistem SWIFT dan mulai menjalin kerja sama dengan sistem alternatif seperti CIPS dan e-CNY.
2. Integrasi Rupiah Digital dalam Ekosistem Perdagangan ASEAN
Haidar mendorong pengembangan rupiah digital dan integrasinya dalam perdagangan kawasan ASEAN yang dinilai strategis.
3. Reorientasi Cadangan Devisa dan Diversifikasi Mitra Keuangan
Ia juga mengusulkan diversifikasi cadangan devisa dari dolar AS ke aset atau mata uang mitra dagang utama, serta menjajaki kerja sama dengan negara-negara BRICS+ dalam penentuan harga komoditas.
“Dominasi dolar bukan hukum alam. Itu hasil dari struktur dan narasi yang dibentuk AS. Ketika sistem baru terbukti berhasil, dominasi itu bisa luntur,” tegas Haidar.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika baru ini.
“Saat yuan naik panggung dan dolar mulai turun perlahan, kita punya dua pilihan: ikut membentuk panggung baru, atau hanya menjadi penonton setia yang ditinggal sejarah. Dan Indonesia terlalu besar untuk sekadar menjadi penonton,” tandasnya.(C8N)