Ironi Gaya Hidup Hedonis ASN dan Pejabat: SK Jadi ATM, UMKM Jadi Korban

Oleh Redaksi

Crew8 News Jakarta – Fenomena gaya hidup hedonis aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat kembali menjadi sorotan, dengan bermodalkan selembar Surat Keputusan (SK) pengangkatan, bank hingga koperasi seakan membuka pintu selebar-lebarnya, ASN bisa mendapatkan pinjaman ratusan juta rupiah tanpa agunan keras, tetapi ironisnya, pinjaman itu tidak diarahkan untuk produktivitas, melainkan lebih sering mengalir ke konsumsi dan gengsi.

Di lapangan, potret ini begitu kentara, seorang ASN golongan II di sebuah kabupaten kecil, misalnya, mengaku harus meminjam ke bank daerah sebesar Rp200 juta untuk renovasi rumah, lalu menambah pinjaman Rp50 juta dari koperasi pegawai untuk membeli kendaraan, hasilnya, hampir 80 persen gajinya habis untuk membayar cicilan setiap bulan. “Gaji tinggal nama, tiap bulan habis duluan,” katanya lirih.

Kasus lain menimpa pejabat eselon III, dengan dalih kebutuhan rumah tangga, ia menanggung dua cicilan sekaligus, kredit rumah dan kredit kendaraan, setiap bulan, hanya seperempat dari gaji yang tersisa untuk hidup, Jalan pintas pun ditempuh, mengandalkan honor kegiatan, “jatah proyek,” bahkan gratifikasi.

Negara melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) kerap menyebut bahwa akses pembiayaan semakin inklusif, Kredit Usaha Rakyat (KUR) digadang-gadang menjadi solusi bagi sektor mikro, dengan bunga rendah 6 persen, di atas kertas, kebijakan ini tampak manis.

Namun realitas di lapangan  menunjukkan hal sebaliknya, akses KUR untuk UMKM tetap berbelit, prosedur panjang, agunan memberatkan, dan bunga yang “murah” masih terasa berat bagi pedagang kecil, Untuk pinjam Rp50 juta saja, banyak UMKM harus menyerahkan sertifikat tanah atau rumah.

Sebaliknya, ASN dengan SK bisa membawa pulang pinjaman hingga ratusan juta rupiah dalam hitungan hari, bank lebih percaya pada birokrat yang gajinya tetap, dibanding pedagang kecil yang usahanya fluktuatif, ironis, karena ASN menggunakan pinjaman untuk konsumsi, sementara UMKM yang hendak berproduksi justru tersingkir.

Tidak berhenti di ASN, pejabat pun tak kalah rakus dalam memanfaatkan fasilitas kredit, mobil mewah, rumah megah, dan gaya hidup hedonis menjadi simbol status sosial yang harus dijaga, semua itu dibiayai dengan pinjaman konsumtif. Ketika gaji tak mencukupi, praktik rente dan pungutan liar menjadi solusi instan.

Di sisi lain, pengusaha besar tetap nyaman, mereka mendapat akses modal jauh lebih besar, bahkan ketika gagal bayar pun diberi restrukturisasi dan keringanan, posisi mereka kian dominan, padahal, menurut data OJK, porsi kredit untuk UMKM masih stagnan di bawah 20 persen dari total portofolio perbankan nasional, meski UMKM menyumbang lebih dari 60 persen PDB dan 97 persen lapangan kerja.

Sebaliknya, kredit konsumtif, termasuk ASN, terus tumbuh, porsinya mencapai 60–65 persen di segmen ASN, di sisi lain, Kementerian Koperasi mencatat penyaluran KUR 2024–2025 sekitar Rp300–400 triliun per tahun, namun angka itu hanya 5–7 persen dari total kredit perbankan nasional yang mencapai lebih dari Rp6.000 triliun.

Ironi ini memperlihatkan jurang dalam pembangunan kita, ASN dimanja, pejabat menikmati, pengusaha besar dilindungi, sementara UMKM merintih.

Fenomena kredit SK yang menggerus hingga 80 persen gaji tidak bisa dipandang enteng, ASN yang seharusnya menjadi motor pelayanan publik justru kehilangan orientasi, mereka hadir di kantor, tetapi motivasi kerja sudah bergeser, bukan lagi pengabdian, melainkan survival dari lilitan cicilan.

Tak heran jika praktik koruptif tumbuh subur, gratifikasi kecil-kecilan, pungli di pelayanan, hingga fee proyek, semuanya lahir dari kebutuhan menutup cicilan dan menjaga citra sosia, pada titik ini, pelayanan publik bukan sekadar buruk, melainkan kehilangan ruh keadilan.

Di sektor ekonomi, dampaknya pun terasa, UMKM kesulitan berkembang karena akses modal tersumbat, pertumbuhan ekonomi daerah melambat, penciptaan lapangan kerja stagnan, sementara konsumsi ASN tidak menghasilkan nilai tambah.

Kebijakan hulu yang mengumbar jargon pemerataan akses keuangan terbukti gagal di hilir, realitas menunjukkan diskriminasi yang mencolok, negara harus jujur mengakui bahwa regulasi pembiayaan selama ini lebih berpihak kepada birokrat konsumtif dan pengusaha besar, bukan pada rakyat kecil yang sesungguhnya produktif.


Ironi pembangunan negeri ini begitu telanjang, ASN sibuk menjaga gengsi dengan cicilan, pejabat mempertahankan kemewahan dengan pinjaman, pengusaha besar menikmati kelonggaran modal, sementara UMKM terseok mencari akses pembiayaan.

Negara tak boleh terus menutup mata, Jika ekonomi hendak tumbuh sehat dan pelayanan publik ingin membaik, maka hedonisme birokrasi harus dihentikan, dan keadilan pembiayaan bagi UMKM harus diwujudkan.

Selama itu belum terjadi, pelayanan publik akan terus tergerus, korupsi akan makin marak, dan UMKM, penopang sejati bangsa, akan tetap dipinggirkan dalam narasi manis pembangunan.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini