Ketika Birokrasi Membunuh Harapan: Kasus Qorry dan Ironi PPPK Paruh Waktu

Editorial Redaksi


Negeri ini selalu pandai berkata manis di panggung nasional, Pemerintah pusat mengumandangkan penghargaan kepada honorer, menghadirkan skema PPPK Paruh Waktu demi memberi jalan terang bagi mereka yang setia mengabdi bertahun-tahun.

Tetapi di balik gemerlap retorika itu, kenyataan di daerah justru mencederai makna keadilan.

Kasus Qorry Syuhada adalah cermin telanjang dari birokrasi yang kehilangan hati nurani, seorang ibu dengan dua anak kecil, yang sudah 10 tahun mengabdi tanpa noda, dipindahkan tanpa SK, absensinya diblokir, kontraknya dihentikan, semua atas “perintah lisan” yang disebut dalam transkrip rekaman telepon, tanpa satu pun dasar hukum yang jelas.

Ironi kian menyesakkan: pada saat Surat Menteri PANRB B/3832/M.SM.01.00/2025 menegaskan Non-ASN terdata BKN dan aktif bekerja harus diprioritaskan, Pemkab Solok justru melakukan hal sebaliknya—menggantung nasib Qorry, padahal, hanya lima hari kemudian, Surat Sekda/BKPSDM pun keluar, memerintahkan OPD mengusulkan nama-nama Non-ASN yang memenuhi kriteria, dengan jaminan SPTJM bermeterai.

Bukankah jelas Qorry masuk kategori itu? Lantas, mengapa ia justru dicoret?

Kami melihat ada aroma maladministrasi, bahkan lebih dari itu, kesewenang-wenangan yang berkelindan dengan kepentingan pribadi, birokrasi yang seharusnya tegak lurus pada aturan, kini menjelma alat untuk menyingkirkan seseorang yang tak bersalah.

Lebih ironis lagi, di saat Bupati Solok berusaha tampil dengan kinerja yang cepat dan mengedepankan humanity, justru ada bayangan lain di baliknya,  istrinya mempertontonkan kekuasaan dalam senyap, mengambil peran dalam pusaran birokrasi yang mestinya steril dari kepentingan keluarga.

Di balik suami yang berusaha membangun citra kepemimpinan yang humanis, ada seorang istri yang tampak lebih berkuasa, dan itulah yang kini menjadi sumber luka dalam kasus Qorry.

Di titik ini, langkah Qorry menempuh jalur hukum adalah bentuk perlawanan terakhir seorang rakyat kecil terhadap kekuasaan yang mempermainkan nasibnya, ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tapi juga mewakili suara ribuan honorer lain yang bisa saja mengalami nasib serupa.

Redaksi berpendapat, kasus ini tidak boleh berhenti di ruang Ombudsman atau meja pengadilan saja, publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab, siapa yang memberi perintah, dan siapa yang menutup mata, sebab bila ini dibiarkan, maka jargon penghargaan pada honorer hanyalah sandiwara, dan PPPK Paruh Waktu tinggal nama tanpa makna.

Negeri ini tidak boleh terus membiarkan harapan-harapan kecil dibunuh oleh kesewenang-wenangan, kasus Qorry harus menjadi alarm keras, bahwa keadilan bagi honorer bukan hadiah, melainkan hak yang mesti dijaga.MERDEKA!!!!!

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini