Ketika Nurani Mengetuk Meja

Cerita Tentang Kejujuran dan Kekuasaan di Bukittinggi.

Crew8 News, Bukittinggi

Ruang rapat DPRD Bukittinggi biasanya diisi dengan suara formal, laporan, pandangan fraksi, atau pembahasan anggaran. Tapi hari itu, dentuman meja mengguncang seisi ruangan.
“Kalau kami kritis dibilang oposisi, kalau kami diam dibilang bego!”
Suara itu keluar dari Wakil Ketua DPRD, Beny Yusrial, dengan nada tajam namun berisi. Dalam sekejap, hening menggantung di udara, seolah semua tersadar bahwa masih ada yang berani menegur keras, bukan karena benci, tapi karena peduli.

Beny tahu, politik lokal tak selalu soal ide. Sejak Pilkada usai, yang tersisa sering kali bukan semangat membangun, melainkan pembagian kursi dan loyalitas. “Siapa tim siapa” menjadi ukuran segalanya.
Yang menang sibuk membagi kekuasaan, yang kalah tersisih pelan-pelan. Dan di antara itu, pengawasan DPRD sering dianggap pengganggu.

Tapi bagi Beny, diam bukan pilihan.
“Kalau semua takut bicara, rakyat jadi korban. Kita digaji untuk mengawasi, bukan untuk ikut tepuk tangan,” ucapnya di sela-sela diskusi ringan dengan awak media.
Di wajahnya, terlihat kelelahan seorang politisi yang harus menanggung dua beban, menjaga fungsi lembaga, sekaligus melawan stigma “oposisi” yang dilekatkan hanya karena berani bersuara.

Dentuman meja itu mungkin terdengar kasar, tapi sejatinya lahir dari logika sehat. Beny menolak melihat DPRD terjebak dalam budaya “asal setuju”. Baginya, politik bukan ruang nyaman, tapi ruang tanggung jawab.
Ia menyadari bahwa kritik adalah satu-satunya cara agar sistem tetap waras.
“Bukan semua kritik itu benci, kadang itu satu-satunya bentuk cinta pada kota,” katanya.

Beny percaya, jika pejabat takut dikritik, mereka akan lebih sibuk mempertahankan citra daripada memperbaiki kerja. Dan di situlah akar kemunduran tumbuh, dari ketakutan, bukan dari kesalahan.

Di balik suaranya yang lantang, Beny adalah sosok sederhana. Ia sering turun langsung ke lapangan, berbincang dengan warga yang mengeluh soal jalan rusak, sampah, atau izin usaha yang berbelit.
“Rakyat itu nggak butuh pejabat sempurna. Mereka cuma ingin pejabat yang mau mendengar,” ucapnya pelan.

Bagi Beny, Bukittinggi bukan sekadar daerah pemilihan, tapi rumah. Ia yakin kota sekecil Bukittinggi hanya akan besar jika dijaga dengan hati bersih dan keberanian untuk jujur, bahkan ketika kejujuran itu berisiko.

Rapat itu mungkin telah usai, tapi gema ketukan meja Beny Yusrial belum berhenti. Ia menjadi simbol kecil dari perlawanan terhadap apatisme birokrasi dan politik transaksional.
Beny mengingatkan kita, bahwa politik pengawasan bukan permusuhan, dan kritik bukan dosa.

Dalam suasana demokrasi yang makin sempit, keberaniannya adalah pengingat bahwa masih ada ruang untuk nurani di antara lembaran laporan dan rapat-rapat protokoler.

Karena pada akhirnya, setiap meja yang diketuk dengan kejujuran akan menggema jauh lebih keras dari tepuk tangan yang penuh kepalsuan.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini