Komite atau Komisi? Etika Publik dalam Simpang Jalan

Editorial Redaksi.

Sebuah sekolah negeri di Gunung Talang, Kabupaten Solok, kembali menyita perhatian, sekolah ini, dalam satu tahun anggaran, menerima dua proyek sekaligus, dari Dana Alokasi APBD tahun anggaran 2024 melalui Dinas Pendidikan, dan satu lagi dari hasil Pokok Pikiran (Pokir) seorang anggota DPRD aktif.

Yang mencengangkan, anggota DPRD tersebut juga menjabat sebagai Ketua Komite Sekolah di sekolah tersebut, kombinasi peran ini bukan hanya problem etika publik, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan hukum yang jelas dan tegas.

Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf (d) dan huruf (f) dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, disebutkan bahwa:

(d) Pengurus Komite Sekolah tidak dapat berasal dari unsur pejabat pemerintah/pemerintah daerah yang bertugas di wilayah kerja sekolah yang bersangkutan.
(f) Pengurus Komite Sekolah bukan merupakan anggota partai politik.

Seorang anggota DPRD jelas merupakan pejabat daerah sekaligus kader partai politik, yang secara hukum dilarang menjadi pengurus komite sekolah, maka, keabsahan posisi Ketua Komite yang disandang oleh anggota DPRD tersebut patut dipertanyakan sebagai bagian tercipta konflik kepentingan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan dan anggaran daerah.

Masalah ini menjadi lebih serius karena sekolah yang bersangkutan sudah pernah diperiksa oleh Ombudsman RI dan diberi rekomendasi tegas agar menghentikan segala bentuk pungutan liar yang berkedok “hasil rapat komite”, namun nyatanya, struktur komite itu sendiri justru belum dibersihkan dari kepentingan politik.

Situasi ini mencerminkan penyalahgunaan relasi kuasa secara terang-terangan, bagaimana mungkin publik bisa percaya pada transparansi penggunaan anggaran, jika pelaku usul Pokir adalah juga pengawas internal penerimaannya?

Kita sedang menyaksikan satu bentuk nyata dari apa yang disebut sebagai self-dealing, di mana satu individu menjalankan dua kepentingan yang seharusnya saling mengawasi, bukan menyatu.

Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar, bukan tempat bermain proyek, komite seharusnya menjadi mitra kritis, bukan perpanjangan tangan kekuasaan.

Kami di Crew8 News menilai, sudah saatnya Bupati Solok, Dinas Pendidikan, dan lembaga pengawas seperti Inspektorat dan Ombudsman, turun tangan menertibkan situasi ini, jika rekomendasi terdahulu dari Ombudsman saja tidak dilaksanakan, apa lagi yang bisa diharapkan dari tata kelola pendidikan daerah ini?

Dan kepada publik, kami ajukan kembali pertanyaan yang sama:

Komite atau Komisi? Pendidikan atau Politik? Pilih salah satu, Karena ketika kekuasaan tidak tahu batas, maka yang dikorbankan adalah masa depan anak-anak kita.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini