Editorial Redaksi
2 Agustus 2025
Jika demokrasi lokal punya wajah paling buruk, maka inilah contohnya, anggota DPRD Komisi I Kabupaten Solok yang seharusnya menjadi pengawas anggaran dan kebijakan pendidikan, malah menjadi Ketua Komite Sekolah di SMPN 6 Gunung Talang, sekolah yang menerima proyek DAK dan Pokir dalam tahun anggaran yang sama.
Kami tidak sedang menuduh, Kami berbicara berdasarkan bukti otentik, sebuah surat resmi penunjukan komite yang memuat nama anggota DPRD tersebut sebagai ketua.
Artinya jelas, ia bukan hanya mengusulkan anggaran melalui pokok pikirannya sebagai legislator, tapi juga memimpin lembaga internal sekolah yang menjadi mitra kepala sekolah dalam penggunaan anggaran tersebut.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika, ini adalah benturan kepentingan akut, legislator itu kini berdiri di tiga panggung sekaligus, perancang, pengatur, dan penerima proyek.
Permendikbud 75 Tahun 2016 telah jelas, komite sekolah harus bebas dari pejabat aktif, PP No. 12 Tahun 2018 lebih tegas lagi, anggota DPRD dilarang merangkap jabatan di lembaga yang menerima anggaran daerah, di tambah dengan rekomendasi oleh ombusman tahun 2017 terhadap sekolah tersebut yang kembali di langgar.
Namun celakanya, dalam praktik birokrasi Solok hari ini, aturan tampak hanya jadi dokumen, bukan rambu.
Seharusnya anggota DPRD hadir sebagai kanal suara rakyat, bukan menyusup ke dalam struktur penerima manfaat, tapi di Kabupaten Solok, partisipasi warga dibajak, transparansi dibungkam, dan pendidikan dijadikan panggung proyek.
Saat kekuasaan merangkap terlalu banyak peran, maka tidak ada lagi yang benar-benar diawasi.
Tidak ada jarak, yidak ada kontrol. yang tersisa hanyalah peluang.
Di mana posisi Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Solok?
Apa yang dilakukan Inspektorat saat surat jabatan ganda ini beredar?
Mengapa Dinas Pendidikan tidak menolak atau memberi teguran keras?
Apakah kita sedang menyaksikan modus baru mengamankan Pokir melalui jalur komite?
Ini bukan soal proyek satu sekolah, Ini soal model kekuasaan yang keliru, dalam menerapkan aturan komite, dan pembiaran terhadap praktek praktek pungli yang berkedok dan berlindung di balik ” Hasil Musyawarah Komite” Jika satu legislator bisa mengatur anggaran dan sekolah sekaligus, maka ke depan akan makin banyak komite sekolah rasa dewan, yang hadir bukan untuk pendidikan, tapi untuk kelanggengan kursi.
Kami di Crew8 News menolak diam, dan meminta Disdikpora untuk mengevaluasi kembali keberadaan komite ini yang cenderung membebani wali murid, karena pendidikan harus dikelola dengan niat suci, bukan logika transaksional, dan wakil rakyat harus mengabdi, bukan menguasai.
(C8N)
senyuman08