Crew8 News, Solok, 9 Juli 2025 – Seruan Wakil Bupati Solok H. Candra S.Hi mengenai pentingnya disiplin dan integritas aparatur sipil negara kini menjadi bahan perbincangan publik, dalam unggahan video resmi, Wabup menegaskan bahwa “disiplin bukan sekadar aturan, melainkan cermin dari integritas.” Namun, pernyataan itu dinilai kontradiktif dengan praktik kekuasaan yang terjadi di lingkungan Pemkab Solok.
Pasalnya, Ketua TP PKK Kabupaten Solok, yang juga menjabat sebagai Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokomp), diduga telah mengintervensi urusan kepegawaian dengan menginstruksikan mutasi terhadap tenaga honorer non-ASN, tanpa dasar administratif dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yakni Bupati.
“Sebagai bagian dari tim pemenangan JFP–Candra, saya merasa dikhianati oleh realitas hari ini, apa yang disampaikan Pak Wabup tentang integritas dan keteladanan, ternyata tidak sejalan dengan praktik di lingkaran terdekat kekuasaan itu sendiri,” ujar salah satu anggota tim pemenangan, yang meminta agar namanya dirahasiakan.
Puncak polemik terjadi setelah kasus Qorry Syuhada, tenaga honorer yang telah terdaftar dalam database BKN dan mengikuti proses seleksi PPPK, dimutasi secara sepihak ke lokasi yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dengan dalih redistribusi, Bahkan, ia sempat tidak bisa melakukan absensi tanpa kejelasan administrasi.
Di tengah sorotan tersebut, Kepala BKPSDM Kabupaten Solok mengeluarkan klarifikasi bahwa penataan dan redistribusi tenaga honorer dilakukan untuk mendukung transformasi digital dan efektivitas pelayanan, namun penjelasan itu justru menuai kritik.
“Penataan kok tidak transparan? Kalau memang prosedural, mana SK-nya? Kenapa ada absensi yang diblokir dan penugasan hanya berdasarkan perintah lisan istri bupati? mana di mutasi sangat jauh lagi, begitu kah sikap pimpinan dan ibu tp PKK terhadap pegawai nya? Mana keteladanannya, yang seharusnya nya mereka jadi bapak dan ibuk bagi ASN dan non ASN yang lemah” tegas nya menahan kekecewaan .
Banyak pihak menilai klarifikasi BKPSDM hanya sebagai upaya pembenaran terhadap sistem tata kelola kepegawaian yang semrawut, bahkan, sejumlah elemen masyarakat menyebut, alasan-alasan teknokratis yang digunakan tidak relevan jika praktik dasarnya melanggar regulasi dan etika pemerintahan.
Masyarakat menilai, ada praktik kesewenang-wenangan yang terstruktur dan melecehkan semangat reformasi birokrasi.
“Kalau pusat sudah memberikan contoh birokrasi berdasarkan kinerja dan aturan, daerah seharusnya berhenti bermain dengan kekuasaan informal, dan menyasar korban yang pegawai pegawai lemah dan tak punya akses kedekatan kekuasaan” tutup tim pemenangan tersebut penuh kecewa.
(C8N)






