Crew8 News, Solok, 10 Juli 2025 – Presidium Solidaritas Lintas Nagari (SOLINA) Kabupaten Solok, Agandha Armen, menyampaikan kritik keras terhadap pernyataan Kepala BKPSDM Afrialdi yang dianggap hanya menjadi tameng pembenaran atas semrawutnya sistem tata kelola kepegawaian di lingkungan Pemerintah Kabupaten Solok.
Menurut Agandha, alih-alih menyelesaikan masalah, klarifikasi BKPSDM justru mempertegas adanya ketidaksiapan struktural dalam mengelola distribusi pegawai, khususnya tenaga honorer non-ASN yang sudah terdaftar dalam database BKN dan telah mengabdi bertahun-tahun.
Salah satu kasus yang disorot adalah pemindahan sepihak terhadap Qorry Syuhada, tenaga honorer perempuan yang dipindahkan ke wilayah kerja yang berjarak puluhan kilometer dari tempat tinggal dan anak-anaknya yang masih kecil.
“Pernyataan Kepala BKPSDM yang menyebut redistribusi sebagai penataan justru menyakitkan akal sehat, ini bukan penataan, tapi pelimpahan masalah, yang dikorbankan bukan hanya hak pegawai, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,” kata Agandha.
Ia menegaskan bahwa alasan pemerataan pegawai seharusnya tidak digunakan untuk menutupi pelanggaran prosedur administratif dan etika.
Agandha juga menduga adanya praktik pembiaran bahkan kemungkinan intervensi non-struktural dalam proses redistribusi tenaga honorer, yang telah menyebabkan ketimpangan distribusi tenaga kerja yang mengarah pada pengabaian hak-hak dasar pegawai.
Pernyataan Agandha Armen mencerminkan keprihatinan terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam proses redistribusi pegawai di Kabupaten Solok.
Salah satu pelanggaran yang dikritik adalah pemindahan sepihak terhadap pegawai honorer yang sudah terdaftar dalam database BKN.
Menurutnya, prosedur yang berlaku tidak diikuti dengan baik, dan pegawai-pegawai tersebut, yang telah mengabdi selama bertahun-tahun, seharusnya ditempatkan dengan mempertimbangkan jarak tempat tinggal dan beban keluarga.
“Ketika pemindahan dilakukan tanpa dasar administratif yang sah, apalagi hanya atas perintah lisan atau motif subjektif, maka itu sudah masuk ranah penyalahgunaan kewenangan, ini bukan reformasi birokrasi, ini dekadensi tata kelola,” tegasnya.
SOLINA mendesak agar proses penempatan dan redistribusi THL dievaluasi secara menyeluruh oleh lembaga independen.
Agandha mengusulkan agar KASN, Ombudsman, dan Kementerian PAN-RB turun tangan untuk memeriksa seluruh mekanisme yang terlibat dalam pemindahan pegawai ini, ia juga menekankan perlunya evaluasi terhadap regulasi yang memungkinkan ketimpangan ini terjadi.
“Sudah saatnya kita hentikan diskursus pencitraan birokrasi yang justru menginjak martabat para pegawai, klarifikasi BKPSDM harus dibaca sebagai upaya membungkus pelanggaran, bukan solusi,” pungkas Agandha.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, pengelolaan pegawai harus dilakukan dengan prinsip profesionalitas dan keadilan, proses pemindahan pegawai juga harus mematuhi aturan administrasi yang berlaku, dalam hal ini, pengalihan tugas yang dilakukan tanpa dasar administratif yang jelas dan sah berpotensi melanggar ketentuan tersebut.
Begitu pula dengan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2018 yang mengatur tentang pengangkatan tenaga non-ASN, yang memastikan hak-hak pegawai tetap terlindungi selama proses seleksi dan penempatan.
Qorry Syuhada, seorang tenaga honorer yang menjadi korban dari proses redistribusi ini, telah melaporkan bahwa pemindahannya dilakukan tanpa pemberitahuan yang jelas dan tanpa mempertimbangkan kondisi keluarga serta lokasi tugas yang jauh dari tempat tinggalnya.
Qorry mengungkapkan bahwa ia dipindahkan ke OPD yang sangat jauh, menyulitkan kehidupan keluarga dan kesejahteraan anak-anaknya.
SOLINA juga menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Solok segera melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan tersebut dan memberikan penjelasan yang transparan kepada publik mengenai prosedur yang diambil dalam redistribusi tenaga honorer, mereka berharap agar kebijakan yang diterapkan lebih manusiawi dan berlandaskan pada kepatuhan terhadap regulasi yang ada.
(Rinal Dimas)