Oleh: Syaiful Rajo Bungsu
Crew8 News – Solok – Program unggulan sering dijadikan simbol semangat perubahan oleh kepala daerah terpilih. Ia dikemas dalam janji kampanye yang menjanjikan solusi atas problem warga, dan dijadikan warisan politik yang ingin ditinggalkan saat masa jabatan usai. Namun realitas di lapangan tidak semudah pidato peresmian. Alih-alih membuahkan hasil, program unggulan bisa menjadi bumerang politik yang menggerus kepercayaan publik dan membuka ruang bagi kegagalan kepemimpinan.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang kerap menjadi penyebabnya: tidak profesionalnya aparatur sipil negara (ASN), keterbatasan anggaran daerah, dan belum maksimalnya pemanfaatan teknologi digital dalam birokrasi. Ketiganya merupakan simpul kritis yang jika tidak diselesaikan, dapat menjatuhkan reputasi kepala daerah bahkan saat program itu sebenarnya punya niat baik dan potensi besar.
Birokrasi Tak Solid, Program Terhambat
Pertama, soal profesionalisme ASN. Dalam struktur pemerintahan daerah, ASN adalah mesin utama pelaksana kebijakan. Namun dalam praktiknya, banyak program unggulan tidak berjalan karena ASN tak menjalankannya dengan semangat dan integritas. Di sejumlah daerah, resistensi ASN terhadap program baru sangat nyata. Mereka enggan bekerja ekstra untuk sesuatu yang tidak mereka rasa miliki. Sebagian lain bahkan secara diam-diam melemahkan program karena alasan kepentingan pribadi, politik, atau loyalitas yang terbagi.
Padahal, sebaik apapun visi seorang kepala daerah, tanpa dukungan ASN yang loyal secara profesional, program akan berjalan setengah hati. Birokrasi yang tidak sejalan hanya akan menghabiskan energi dan memperlambat pelaksanaan.
Kedua, masalah anggaran. Tak sedikit kepala daerah yang terjebak dalam euforia pasca-pilkada. Janji kampanye diubah menjadi program unggulan tanpa terlebih dahulu menghitung kekuatan fiskal daerah. Akibatnya, program itu hanya berhenti di atas kertas, atau dijalankan secara simbolik untuk sekadar formalitas.
Ketiga, belum kuatnya transformasi digital di lingkungan pemerintahan. Di era digital ini, program pembangunan yang tidak berbasis data dan teknologi cenderung tidak efisien. Birokrasi yang masih manual, lambat, dan tidak transparan akan menyulitkan proses evaluasi dan pengawasan. Padahal, kecepatan informasi dan transparansi menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap program unggulan.
Main Dua Kaki ASN dan Efek Pilkada
Di tahun politik, tantangan kian bertambah. Salah satunya adalah fenomena ASN yang “main dua kaki” secara formal terlihat netral, namun di balik layar mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah. Fenomena ini sangat merusak tatanan birokrasi.
Program unggulan seringkali macet di tahun politik karena ASN bersikap “wait and see.” Mereka enggan menjalankan arahan kepala daerah aktif karena tidak yakin siapa yang akan berkuasa nanti.
Berdasarkan analis kebijakan publik menilai bahwa netralitas ASN bukan hanya soal etika, tapi berkaitan langsung dengan keberhasilan program pemerintah. “Ketika ASN tak profesional, sistem merit rusak. Jabatan menjadi alat transaksi politik, dan kebijakan kehilangan orientasi pada publik,” jelasnya.
Pasca pilkada, ASN yang mendukung calon yang kalah berisiko dimutasi atau dibekukan. Sementara yang dekat dengan pemenang merasa aman walau tak berkompeten. Praktik ini memperparah luka birokrasi dan menciptakan lingkaran balas dendam yang tidak sehat.
Peran DPRD dalam Sukses Gagalnya Program
Namun tantangan kepala daerah tak hanya soal internal birokrasi. Di ranah legislatif, konsolidasi partai politik di DPRD juga memegang peranan penting. Koalisi pendukung kepala daerah di parlemen menentukan mulus tidaknya proses pembahasan anggaran dan pengesahan kebijakan pendukung program unggulan.
Tanpa dukungan politik yang solid di DPRD, kepala daerah akan menghadapi jalan terjal dalam mewujudkan program prioritas. Interupsi, penolakan anggaran, hingga pelambatan pembahasan bisa terjadi. Bahkan, program bisa ditarik ulur menjadi alat tawar-menawar politik.
Stabilitas dukungan politik di DPRD sangat penting. Kepala daerah tak bisa hanya mengandalkan birokrasi, dia harus pandai menjaga komunikasi dan kompromi dengan parlemen.
Ini artinya, pasca pilkada, kepala daerah perlu membangun relasi strategis gbukan hanya dengan ASN, tapi juga dengan elite partai di DPRD. Tanpa itu, program unggulan bisa ditinggalkan begitu saja di meja legislatif.
Kepemimpinan Diuji: Bukan Sekadar Visi, Tapi Eksekusi
Dalam konteks ini, kepala daerah perlu mengambil langkah tegas. Konsolidasi internal dengan ASN, disiplin anggaran, percepatan digitalisasi, serta komunikasi politik yang sehat dengan DPRD, harus dijadikan prioritas. Selain itu, menjaga netralitas ASN selama pilkada adalah langkah penting untuk memastikan keberlanjutan program unggulan yang sedang berjalan.
Menjadi kepala daerah bukan hanya soal menang pemilu atau merancang ide besar. Kepemimpinan sejati adalah kemampuan menggerakkan sistem untuk bekerja terlepas dari tantangan politik yang menghadang. Program unggulan bisa menjadi warisan kemajuan atau justru catatan kegagalan. Yang membedakan adalah keberanian kepala daerah dalam menata birokrasi dan menegakkan etika pemerintahan, serta kecerdasannya menjaga keseimbangan dengan legislatif.(**)