Crew8 News Solok – Gelombang protes warga terkait jalan rusak kembali menyeruak dan menyorot kepemimpinan JFP – Candra. Setelah sebelumnya masyarakat menanam pohon pisang di ruas jalan Muaro Paneh – Panyakalan, kini aksi serupa kembali muncul di Kampung Batu Dalam.
Fenomena tersebut bahkan viral di media sosial setelah seorang warga membagikan foto kondisi jalan dengan pohon pisang yang tumbuh di lubang besar. Beragam komentar bernada sindiran memenuhi unggahan itu. Salah satu komentar paling menyentil berbunyi, “Waktu kampanye ngaku-ngaku iko kampuang awak (ini kampung kita), setelah duduk lupa.”
Aksi simbolik dengan menanam pohon pisang di jalan berlubang memang bukan hal baru. Namun, ketika hal itu kembali terulang di era JFP – Candra, publik mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: akses jalan yang layak.
Jalan merupakan urat nadi aktivitas warga. Bagi masyarakat Solok, akses jalan tidak hanya berarti kelancaran transportasi harian, tapi juga menyangkut distribusi hasil pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi nagari. Ketika jalan dibiarkan rusak bertahun-tahun, dampaknya sangat terasa: biaya angkut melonjak, kendaraan cepat rusak, hingga risiko kecelakaan meningkat.
Sejak awal menjabat, JFP – Candra mengusung semangat perubahan dan janji membenahi infrastruktur. Namun, setelah sepuluh bulan berkuasa, masyarakat mulai menagih realisasi janji tersebut.
“Kalau masyarakat turun menanam pisang di jalan, itu pertanda mereka sudah lelah menunggu. Jangan biarkan simbol protes ini berkembang jadi ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap pemerintah,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Sudah menjadi rahasia umum, pemeliharaan aset jalan oleh Pemkab Solok dinilai lemah. Perawatan rutin yang tidak konsisten membuat banyak ruas jalan semakin hancur. Di beberapa titik, bahkan semak belukar sudah menyelimuti sisi jalan, menambah kesan abai dalam pengelolaan aset publik.
Tak sedikit warga mulai mempertanyakan mempertanyakan ke mana aliran Dana Bagi Hasil (DBH) dari pajak kendaraan bermotor. Idealnya, pajak tersebut digunakan untuk pemeliharaan rutin jalan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya, jalan-jalan utama rusak parah tanpa sentuhan perbaikan yang berarti.
“Setiap tahun kami bayar pajak kendaraan, tapi jalan yang kami lalui tetap rusak. Kalau begini, masyarakat wajar kecewa,” tutur salah seorang warga.
Di tengah kritik tajam publik, JFP – Candra dihadapkan pada tantangan berat, mampu atau tidak mengoptimalkan kinerja Dinas PUPR yang selama ini dikenal sebagai birokrat pejuang di lapangan.
Seorang pemerhati kebijakan publik di Solok menilai, persoalan jalan rusak bukan semata soal anggaran. “Masalah terbesar adalah konsistensi dalam pemeliharaan rutin. Kalau perawatan jalan dibiarkan menunggu rusak berat baru diperbaiki, itu sama saja mengulang kesalahan lama,” ujarnya.
Masyarakat kini menunggu bukti nyata. Bukan lagi sekadar janji kampanye atau retorika politik, tapi tindakan konkret yang bisa dirasakan langsung oleh warga. Apalagi, protes dengan menanam pisang bukan sekadar aksi hiburan, melainkan simbol frustrasi kolektif masyarakat yang merasa diabaikan.
Tantangan besar ini akan menjadi ujian sejati bagi duet JFP – Candra: apakah mereka mampu menjawab ekspektasi publik, atau justru akan dikenang sebagai pemimpin yang gagal menjawab persoalan klasik infrastruktur di Kabupaten Solok?
(C8N)
#senyuman08