Proyek Videotron Kantor Gubernur Sumbar, Rekayasa Pengadaan, PPK Ilegal, dan Jejak Diskon Proyek Miliaran

Crew8 News, Padang, – Di tengah sorotan publik atas proyek pengadaan videotron senilai lebih dari Rp10 miliar di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, muncul fakta baru yang memperkuat dugaan adanya praktik rekayasa sistematis dalam pelaksanaan proyek ini, tak hanya soal spesifikasi barang yang menyimpang dan sertifikat TKDN yang sudah dicabut, kini mencuat pula persoalan hukum yang lebih mendasar, siapa sebenarnya yang berwenang menandatangani kontrak

AH , yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), secara administratif dan hukum tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak pengadaan videotron dengan CV NB, Sebab, ia bukan pejabat struktural di Biro Umum Setda Sumbar, unit kerja yang menjadi pelaksana proyek.

Menurut informasi valid yang diperoleh media ini, AH adalah adik dari CR, sosok yang disebut-sebut sebagai aktor pengkondisi proyek di balik layar, AH disusupkan ke posisi strategis sebagai PPK oleh kelompok dalam birokrasi yang memiliki afiliasi dengan CR dan ARK, guna memastikan jalannya proyek sesuai dengan skenario tertentu, termasuk perolehan diskon proyek dari penyedia.

CR dan ARK di duga kuat berperan aktif mengatur mekanisme internal agar kontrak tidak ditandatangani oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang sah, dalam hal ini Kepala Biro Umum, padahal, sesuai aturan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pejabat yang berwenang menandatangani kontrak adalah KPA atau pejabat yang diberi mandat sah secara tertulis.

Dengan kata lain, kontrak yang diteken oleh AH secara hukum cacat formil dan berpotensi batal demi hukum, dampaknya bukan hanya administratif, tetapi juga mengindikasikan adanya skema pembajakan kewenangan dan konflik kepentingan.

Dalam dunia pengadaan videotron, margin keuntungan dari nilai kontrak memang tergolong besar, beberapa vendor menyebutkan bahwa diskon hingga 30 persen dari nilai kontrak bisa saja terjadi dalam praktik, Dengan nilai proyek lebih dari Rp10 miliar, potensi diskon senilai miliaran rupiah inilah yang diduga menjadi alasan kuat pengkondisian proses pengadaan dan penyusupan pejabat fiktif sebagai PPK.

Kasus ini tidak lagi semata-mata soal administrasi pengadaan barang. Sudah mengarah pada dugaan kuat tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang, pemalsuan dokumen, konflik kepentingan, dan pengkondisian proyek oleh pihak-pihak yang bukan pemegang mandat sah dari negara.

Mengingat, nilai proyek di atas Rp10 miliar, Pelanggaran prinsip pengadaan (akuntabilitas, efisiensi, integritas) serta Potensi kerugian negara akibat penggunaan produk tanpa TKDN sah, serta dugaan penanda Tanganan kontrak yang dilakukan oleh yang tak berhak.

Maka Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan Kejaksaan Agung RI harus turun tangan secara proaktif, tak bisa dibiarkan, apalagi jika proyek bermasalah ini terjadi di halaman utama kekuasaan, Kantor Gubernur sendiri.

Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi juga harus angkat suara dan bertindak tegas, Pembiaran terhadap praktik rekayasa di lingkungan pemerintahannya bukan hanya merusak integritas birokrasi, tapi juga bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola keuangan daerah.

Jika Gubernur terus diam, publik berhak bertanya, apakah ini sekadar kelalaian, atau ada pembiaran yang disengaja?

Catatan Redaksi:
Narasi ini disusun berdasarkan dokumen resmi LHP BPK RI 2024, konfirmasi lapangan, serta informasi dari berbagai pihak yang mengetahui secara langsung proses pengadaan. Kasus ini akan terus kami pantau, demi tegaknya transparansi, integritas, dan keadilan dalam pemerintahan daerah.

(C8N)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini