Oleh: Rinal Dimas Saputra
Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI)
Putra Daerah Asal Sumatera Barat
Crew8 News, Solok – Sebagai putra daerah yang lahir dan tumbuh dari keluarga petani di Sumatera Barat, saya merasa terpanggil untuk bicara. Hari ini, saya menyampaikan refleksi yang bukan sekadar tulisan, tapi jeritan dari hati anak petani yang menyaksikan tanah kelahiran perlahan kehilangan arah.
Saya adalah Rinal Dimas Saputra,
Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia,
dan saya sangat prihatin melihat 100 hari pertama Gubernur Mahyeldi—seorang Sarjana Pertanian—namun gagal menunjukkan keberpihakan nyata pada pertanian di kampung halaman sendiri.
Di Lahan Kami Dulu Tumbuh Padi, Kini Beton yang Berdiri
Laporan Dinas Pertanian Sumbar dan sumber-sumber lain menyebutkan, lebih dari 2.500 hektar lahan pertanian di Sumatera Barat hilang dalam 5 tahun terakhir. Lahan-lahan subur beralih fungsi jadi kawasan industri, proyek tol, hotel wisata, hingga perumahan mewah.
Gubernur diam. Tidak ada langkah protektif.
Tidak ada Perda Perlindungan Lahan yang ditegakkan. Tidak ada audit lingkungan. Tidak ada keberanian.
Bahkan dalam dokumen RPJMD Sumbar sendiri, pertanian bukan prioritas utama.
Padahal, dari sektor inilah sebagian besar rakyat menggantungkan hidupnya.
Janji Petani Setiap Pemilu: Laris Saat Kampanye, Dibuang Saat Berkuasa
Yang lebih menyakitkan, adalah kenyataan bahwa petani hanya dianggap penting saat pemilu tiba.
Setiap lima tahun, wajah-wajah calon bermunculan dengan janji manis: subsidi pupuk, harga yang adil, dan program pertanian unggulan. Tapi begitu kursi sudah diduduki, janji tinggal janji, petani kembali dilupakan.
Saya menyaksikan ini sendiri.
Dan saat saya bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa dari seluruh Indonesia, mereka tahu Gubernur kami Sarjana Pertanian.
Tapi yang lebih tragis: mereka bertanya, “Kenapa pertanian di Sumbar malah tertinggal?”
Regenerasi Petani Mati Pelan-Pelan
Tidak ada program besar-besaran untuk menarik anak muda kembali ke pertanian. Tidak ada skema akses lahan. Tidak ada penyuluhan berbasis teknologi. Tidak ada jaminan harga hasil panen.
Petani hari ini menua, dan pemuda enggan menggantikannya.
Karena di mata mereka, pertanian tidak memberi harapan.
Ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan sistem. Dan sistem itu dibentuk oleh pemimpin.
Kami Butuh Arah, Bukan Basa-Basi
Dalam 100 hari, Mahyeldi lebih banyak bicara soal pembangunan fisik dan branding keagamaan. Tapi ketahanan pangan? sistem pertanian? perlindungan lahan?
Nihil. Nyaris tak terdengar.
Padahal, ketahanan pangan bukan slogan. Ia adalah nyawa. Jika lahan habis, petani tua, dan anak muda tak lagi mau bertani, maka siapa yang akan memberi makan kita di masa depan?
Jika pertanian ditinggalkan, maka Sumbar sedang menuju jurang krisis pangan.
Penutup: Saatnya Gubernur Ingat Asal-Usulnya
Pak Mahyeldi, Anda lulusan Fakultas Pertanian.
Kami tidak minta banyak. Kami hanya ingin Anda kembali kepada akar. Dengarkan jeritan petani. Lindungi tanah mereka. Buat kebijakan yang berpihak.
Karena jika hari ini Anda lupa pada asal,
besok rakyat akan lupa pada Anda.
Hari ini, kami tidak bicara sebagai lawan. Kami bicara sebagai anak negeri. Sebagai mereka yang masih percaya bahwa pertanian adalah masa depan, jika dipimpin oleh mereka yang benar-benar peduli.
Petani tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh keadilan.
Dan hari ini, yang kami lihat bukan keadilan, tapi pengabaian.(RD)