Oleh Redaksi Investigasi
Crew8 News,PADANG — Pada Sabtu dini hari, 31 Mei 2025, waktu nyaris berhenti di sebuah rumah sederhana di Jalan Pilakuik, Kelurahan Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji. Di sana, Desi Erianti, 49 tahun, ibu rumah tangga dan tulang punggung keluarga, mengerang pelan sambil memegangi dadanya, Sesak napas menyerangnya mendadak, lebih hebat dari biasanya., di sekelilingnya, keluarga panik, bingung, dan minim biaya, tapi satu keputusan bulat dibuat malam itu: larikan ke RSUD dr. Rasidin — rumah sakit milik pemerintah yang seharusnya siap sedia menerima pasien gawat darurat.
Namun yang mereka temukan bukan pertolongan, melainkan penolakan. Di sinilah cerita bergulir, bukan hanya tentang kematian, tapi juga tentang sistem yang gagal memahami makna darurat.

Episode Awal: Panik, Nafas yang Terburu
Waktu menunjukkan pukul 00.15 WIB ketika keluarga Desi membawa tubuhnya yang makin lemah ke RSUD Rasidin menggunakan bentor. “Kami tidak punya mobil, tak sanggup naik ambulans swasta. Bentor jadi satu-satunya pilihan,” ujar Yurnani, kerabat yang malam itu mendampingi.
Tiba di IGD, harapan mereka tumbuh. Namun hanya sebentar, Petugas medis yang memeriksa secara singkat menyampaikan bahwa kondisi Desi “tidak masuk kategori kegawatdaruratan” dan menyarankan pulang atau mencari rumah sakit lain.
“Kami minta tolong, dia sudah susah bernapas, tapi dibilang tidak gawat. Rasanya seperti dilempar,” ucap Yudi, adik korban, yang sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Sambil menahan marah, ia menunjukkan foto Desi di ruang tamu, sesaat setelah kembali dari rumah sakit: pucat, terengah-engah, dan hampir tak sadarkan diri.
Penolakan dan Jalan Pulang Tanpa Harapan
Tanpa pilihan, mereka kembali pulang. Bentor kembali mengantar tubuh lemah Desi ke rumah, di sana, keluarga hanya bisa memberi minyak angin, mengipas, dan memanggil tetangga yang sedikit paham pertolongan pertama, tapi semuanya sia-sia, menjelang subuh, kondisi Desi kian kritis.
Keluarga akhirnya membawa Desi ke RS Siti Rahmah, rumah sakit swasta. Tapi semuanya terlambat. “Baru masuk IGD, dia langsung dinyatakan meninggal dunia. Padahal semestinya bisa ditolong kalau dari awal ditangani serius,” ujar Yurnani.
Lubang dalam Prosedur Darurat
Kasus Desi menyoroti pertanyaan mendasar: Siapa yang berhak menentukan bahwa pasien dalam kondisi darurat atau tidak?
Menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi, IGD wajib melakukan pemeriksaan tanda vital secara lengkap sebelum menyimpulkan status pasien. “Kalau pasien datang mengeluh sesak napas, maka pemeriksaan saturasi oksigen, tekanan darah, suhu tubuh, dan kondisi jantung adalah dasar mutlak, Bukan asumsi visual,” tegas Adel.
Jika prosedur itu dilewatkan, bukan hanya terjadi maladministrasi, tetapi berpotensi menjadi malapraktik.
RSUD Rasidin: Rekam Jejak dan Sorotan Lama
RSUD dr. Rasidin bukan kali ini saja menjadi sorotan, Dalam laporan audit internal 2023 yang diperoleh redaksi, terdapat temuan mengenai kekurangan SDM jaga malam serta keterlambatan respons IGD terhadap pasien BPJS non-rujukan, dalam beberapa kasus, pasien diarahkan ke rumah sakit lain dengan alasan “tidak darurat”, tanpa pemeriksaan menyeluruh.
Redaksi juga menemukan bahwa pelatihan triase IGD terakhir kali diadakan lebih dari 18 bulan lalu, padahal semestinya dilakukan berkala, Seorang perawat internal yang enggan disebutkan namanya mengakui adanya tekanan dari manajemen untuk “mengendalikan” beban IGD, terutama bagi pasien yang dinilai “tidak berkontribusi pendapatan”.
“Kadang kami dilema. Ingin menolong, tapi takut ditegur karena dianggap tidak efisien, Tapi ini sudah kebangetan kalau sampai nyawa melayang,” katanya.
Kebijakan Wali Kota Vs Realitas Lapangan
Yang ironis, kasus ini terjadi bersamaan dengan program 100 hari kerja Wali Kota Padang yang mengusung layanan berobat gratis untuk semua warga, Dalam kampanyenya, Wali Kota menyebut RSUD Rasidin sebagai salah satu garda terdepan.
Namun tragedi Desi menunjukkan bahwa antara retorika politik dan realitas pelayanan masih terbentang jurang lebar, Layanan gratis tak berarti layanan bisa diakses, Terutama ketika sistem menempatkan prosedur di atas rasa darurat manusia.
Arah Investigasi dan Tuntutan Keadilan
Ombudsman telah resmi memulai investigasi independen, Komite Medis RSUD Rasidin juga diminta melakukan audit internal dan melaporkan hasilnya ke publik, Namun keluarga Desi masih belum puas.
“Kami tidak mau hanya permintaan maaf. Kami ingin pertanggungjawaban, Ini bukan soal satu nyawa, tapi soal bagaimana sistem bisa membunuh secara perlahan,” ujar Yudi.
Bukan Sekadar Angka
Desi Erianti kini tinggal nama. Ia bukan pasien pertama yang ditolak IGD, dan mungkin bukan yang terakhir. Tapi kematiannya membuka luka yang lebih besar: tentang bagaimana rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat terakhir menggantungkan harapan, bisa berubah menjadi tempat yang menutup pintu — dengan satu kalimat dingin: “tidak darurat”.(C8N)