Crew8 News, Kabupaten Solok –
Pagi itu, langit belum terlalu terang ketika Qorry Syuhada bangun dari tidur, seperti biasa, ia bersiap menuju kantor tempatnya mengabdi sebagai tenaga honorer Non-ASN di Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Kabupaten Solok yang sudah di jalani nya lebih dari 10 tahun, Anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar masih terlelap, sementara ia menyiapkan sarapan sekadarnya, lalu bergegas pergi.
Namun sejak beberapa bulan terakhir, rutinitas itu berubah, Qorry tak lagi diizinkan mengisi absensi, tanpa surat keputusan, tanpa panggilan resmi, tanpa alasan yang jelas.
Ia hanya menerima kabar lisan, bahwa dirinya dipindahkan ke tempat lain, sangat jauh dari rumah, oleh seorang pejabat OPD atas “perintah” Ketua TP PKK, yang juga istri bupati.
“Saya bingung, tidak ada surat, tidak ada penjelasan resmi, tapi tiba-tiba saya tidak bisa absen, lalu saya diberitahu, saya dipindahkan, begitu saja,” ujar Qorry, dengan mata berkaca-kaca.
Qorry adalah satu dari ribuan tenaga Non-ASN di Indonesia yang masih bertahan dalam ketidakpastian status, Meski telah terdaftar di database Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai peserta seleksi PPPK, harapan itu kini digantungkan tanpa kepastian.
Pemindahan sepihak yang dialaminya tidak hanya membuatnya kehilangan akses kerja, tapi juga mengoyak harga diri sebagai abdi masyarakat.
“Saya tidak pernah mangkir, saya kerja seperti biasa, saya jalankan tugas, tapi kenapa saya diperlakukan seperti ini? Apa karena saya tidak dekat dengan orang berkuasa?” ucapnya lirih.
Jarak penempatan yang baru, jika dipaksakan, bisa memisahkan dirinya dari kedua anaknya yang masih kecil. Transportasi dan biaya harian juga menjadi beban yang tak mungkin ditanggung oleh gaji honorer yang tak sampai dua juta rupiah sebulan.
Praktisi hukum dan Sekretaris Peradi Padang, Mevrizal, SH, MH, mengecam keras pemindahan yang dilakukan tanpa prosedur hukum dan administrasi kepegawaian yang sah.
“Mutasi pegawai, baik ASN maupun Non-ASN, hanya boleh dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, yakni bupati.
Apalagi Qorry ini sudah masuk dalam database BKN, tidak bisa dipindahkan sembarangan, apalagi hanya atas perintah lisan dari istri bupati yang tidak punya kedudukan formal dalam birokrasi,” tegas Mevrizal.
Menurut Mevrizal, tindakan yang menimpa Qorry bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi bisa dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan intimidasi birokrasi.
“Kalau sudah menyangkut pemindahan tanpa administrasi, apalagi karena intervensi personal, maka ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga cacat etika,” tambahnya.
Qorry kini tidak bisa mengakses absensi, tidak bisa masuk kantor, dan tidak menerima surat resmi apapun, Statusnya menggantung, dirinya tidak diberhentikan secara formal, namun secara diam-diam dikeluarkan dari sistem, ia merasa diasingkan, tanpa diberikan ruang klarifikasi.
“Saya hanya ingin bekerja dengan tenang, saya tidak punya kuasa, tidak punya jaringan, tapi saya punya harga diri dan anak-anak yang harus saya hidupi,” kata Qorry.
Pihak keluarga menyatakan akan membawa kasus ini ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Ombudsman RI, Kementerian PAN-RB, Kemendagri, hingga Komnas HAM.
Mereka ingin agar kisah Qorry tidak menjadi preseden kelam bagi ribuan pegawai honorer lainnya yang sedang menanti masa depan.
Cerita Qorry Syuhada bukan hanya tentang seorang perempuan yang didepak dari pekerjaannya, ini adalah potret bagaimana kekuasaan bisa begitu mudah menekan yang lemah, dalam diamnya, Qorry menyimpan luka, tapi juga menyimpan harapan, bahwa masih ada keadilan yang bisa diperjuangkan.
“Saya percaya, tidak semua pejabat itu dzalim, saya percaya, ada jalan untuk saya bisa kembali bekerja dengan martabat,” tutup Qorry dengan suara pelan, namun tegas.
(C8N)
#pemkabsolok #pejabatsemenamena #qorysyuhada #honorernonasn