Sengketa Gelar Adat “Dt. Bangso” Memanas di Nagari Gurun

Dua Kaum Saling Klaim Hak Pusako dan Marwah Adat Minangkabau

Crew8 News

Tanah Datar,- Konflik adat kembali mencuat di Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Dua garis keturunan besar di suku Koto Ateh kini berseteru terkait penggunaan dan kepemilikan gala sako (gelar kehormatan adat) “Dt. Bangso”, yang sebelumnya disepakati sebagai pinjaman adat, namun kini diklaim sebagai pusaka turun-temurun.

Perselisihan ini berawal dari surat perjanjian adat resmi bertanggal 31 Maret 2011, antara Firman Dt. Mara Bangso sebagai pihak pertama dan Febby sebagai pihak kedua. Dokumen berjudul “Surat Perjanjian Pemakaian Gelar Penghulu”, disahkan oleh Wali Nagari Gurun, Wali Jorong Gurun, dan Ketua KAN Gurun, dengan isi bahwa gelar Dt. Bangso Nan Putiah hanya dipinjamkan seumur hidup tanpa hak pewarisan.

“Pihak Pertama bersedia untuk meminjamkan kepada Pihak Kedua gelar penghulu Dt. Bangso Nan Putiah seumur Pihak Kedua,” demikian isi naskah perjanjian yang disertai meterai dan tanda tangan para ninik mamak.

Dalam klausul selanjutnya disebutkan, bila pihak kedua meninggal dunia atau menyalahi adat, gelar dan atributnya dikembalikan kepada pihak pertama. Dokumen ini juga diperkuat tanda tangan lima ninik mamak Suku Koto dan disahkan melalui lembar pengesahan ahli waris kedua belah pihak — menjadikannya dokumen adat paling lengkap di Nagari Gurun saat itu.

Setelah 14 tahun, muncul Surat Pernyataan Suku Koto Ateh yang menuding bahwa Firman Dt. Mara Bangso melanggar kesepakatan adat dan memanipulasi ranji keturunan.

Surat sepanjang 14 halaman, ditandatangani oleh keturunan Bodo Djali Dt. Bangso Kayo, menyebut bahwa Gala Sako Dt. Bangso Kayo adalah pusako sah kaum mereka, bukan pinjaman. Mereka menuding perjanjian 2011 dilakukan secara tidak wajar, bahkan disertai pungutan uang adat yang tidak digunakan untuk memperbaiki rumah gadang sebagaimana janji awal.

“Cara dan syarat yang demikian tidak mencerminkan semangat adat untuk bapelok rumah gadang, tetapi menyerupai tindakan pemaksaan,” tulis pernyataan itu.

Mereka juga menuding pelanggaran berat terjadi saat gelar Dt. Bangso Kayo dialihkan secara diam-diam kepada Dedi Arkadian, tanpa sidang adat dan tanpa kehadiran khatiak dubalang.

Kaum Koto Ateh menegaskan siap menempuh sidang adat maupun jalur hukum positif, jika tidak ada penyelesaian adat yang berkeadilan.

“Kami bakaum sepakat tetap memakai gala Dt. Bangso sajo, panghulu supakalk kaum, bukan Dt. Bangso Nan Putiah,” tegas mereka.

Menanggapi situasi itu, Deddy Y. Dt. Bangso Kayo, mewakili kaum Dt. Mara Bangso, melayangkan surat keberatan tertanggal 29 Juli 2025 dari Yogyakarta, ditujukan langsung kepada Febby Dt. Bangso Nan Putiah, yang kini menjabat Ketua KAN Nagari Gurun periode 2025–2030.

Dalam suratnya, Deddy menyoroti perubahan penulisan gelar Febby di media dan dokumen publik — dari “Dt. Bangso Nan Putiah” menjadi “Dt. Bangso” saja — yang dianggap melanggar kesepakatan adat tahun 2011.

“Hal ini tidak sesuai dengan perjanjian adat tertulis dan sumpah di bawah Al-Qur’an pada 31 Maret 2011,” tulis Deddy.

Kaum Dt. Mara Bangso yang hanya berjumlah enam orang penandatangan, meminta Febby mengembalikan penggunaan gelar sesuai perjanjian. Sementara kaum Koto Ateh yang mengaku pewaris usali mencapai 500 orang .

Sengketa ini kini bukan lagi soal nama, tapi pertarungan legitimasi dan marwah adat. Kaum Mara Bangso berpegang pada perjanjian pinjaman adat yang sah, sementara kaum Koto Ateh menegaskan hak pusaka genealogis.

Kedua pihak saling mengklaim kebenaran adatnya, sehingga menimbulkan dualisme pemangku gala di lapangan, terlebih setelah Febby menjabat Ketua KAN, yang memberi bobot sosial tersendiri dalam persepsi masyarakat.

Secara administratif adat, perjanjian 2011 sah karena disahkan lembaga adat dan pemerintahan nagari. Namun secara sosiologis, pengakuan masyarakat kini terbelah dua.

Banyak tokoh adat menyerukan agar Karapatan Adat Nagari (Datuak Nan Sambilan) segera menggelar sidang adat resmi. Tujuannya menegaskan keabsahan genealogis, fungsi gala, dan batas-batas adat dalam konteks hukum adat Minangkabau modern.

Beberapa pihak juga mendesak klarifikasi ulang kepada mantan Wali Nagari Darlis Dili dan Ketua KAN S. Dt. Rajo Malano — pihak yang menandatangani perjanjian 2011.

Menurut ranji tahun 1901, Gala Sako Dt. Bangso Kayo berasal dari Bodo Djali Dt. Bangso Kayo, keturunan Puti Doyen dari Taratal Manapek-i, Kayu Marunduak, yang kemudian bermukim di Sigarunggung.
Sementara pihak Mara Bangso diyakini keturunan penghulu lama yang menerima gelar itu melalui kesepakatan adat sementara.

Dalam perjalanan sejarah, Firman Dt. Mara Bangso disebut gagal managakkan gala pada 1966 dan 1995. Bahkan, ia dan mamaknya dimakamkan di luar Nagari Gurun — baru kemudian dipindahkan setelah wafatnya Dt. Mantiko Rajo.

Ketika sawah pusako yang pernah dikuasai Firman diambil alih keluarga Febby, Firman disebut tidak berani menggugat ke ranah hukum atau sidang adat.

Kasus ini mencerminkan kerumitan hukum adat Minangkabau di era modern, di mana garis keturunan (ranji darah) sering berbenturan dengan kontrak sosial dan jabatan adat formal.

Persoalan gala Dt. Bangso menjadi ujian bagi lembaga adat Minangkabau: apakah adat masih berpijak pada “darah dan pusako”, atau sudah bergeser pada “dokumen dan kesepakatan”.

Sebagaimana pepatah adat mengingatkan:

“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah;
kalau indak di urang, di tanah ditanam; kalau indak di langik, di bumi ditampuah.”

Artinya, keputusan adat harus kembali pada kebenaran dan keseimbangan nilai, bukan sekadar klaim genealogis atau kekuasaan sosial.

(C8N)

#senyuman08

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini