Crew8 News Gunung Talang, 2 Agustus 2025 – SMP Negeri 6 Gunung Talang, Kabupaten Solok, kembali menjadi sorotan setelah tercatat menerima dua proyek fisik sekaligus dalam tahun anggaran yang sama.
Proyek tersebut berasal dari dua sumber dana berbeda, yakni Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD, dan keduanya tercantum dalam dokumen APBD Dinas Pendidikan Kabupaten Solok tahun 2024.
Dana DAK digunakan untuk rehabilitasi ruang kelas dan laboratorium, sementara dana Pokir dialokasikan untuk pengecoran halaman dan perbaikan fasilitas lainnya di sekolah.
Kedua proyek ini berlangsung dalam waktu berdekatan dan berada di titik lokasi yang sama, memunculkan dugaan pengondisian proyek dan pengaturan anggaran secara terarah.
Yang menjadi perhatian publik adalah keterlibatan anggota DPRD Kabupaten Solok Komisi A, Dedi Fajar Ramli, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Sekolah SMPN 6 Gunung Talang, posisi rangkap ini dinilai melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 4 Ayat (3) huruf f, yang secara tegas melarang pejabat publik menjadi pengurus komite sekolah.
“Kegiatan rehabilitasi dari DAK, pengecoran dari Pokir, kalau tidak salah, yang mengusulkan itu memang Pak Dedi,” ujar salah seorang sumber internal sekolah.
Lebih dari itu, praktik maladministrasi di sekolah ini bukan hal baru, SMPN 6 Gunung Talang pernah ditegur secara resmi oleh Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat atas praktik pungutan liar (pungli) yang dikemas sebagai “hasil rapat komite”, namun, bukannya dihentikan, praktik serupa masih terus berlangsung hingga kini.
Informasi yang diperoleh Crew 8 News menyebutkan bahwa sekolah diduga melakukan pungli melalui kewajiban pengadaan seragam sekolah, dan uang insidentil lain nya yang makin memberat kan keuangan orang tua murid di tengah kelesuan ekonomi, dan dikenakan kepada seluruh siswa tanpa terkecuali.
Tidak hanya itu, siswa yang tidak membayar akan dikenakan sanksi sosial dan administratif, seperti tidak diizinkan mengikuti ujian, tidak menerima rapor, dan terus-menerus ditagih oleh pihak sekolah, yang berdampak menekan kondisi psikologis siswa.
Sejumlah orang tua menyebut bahwa anak-anak mereka pulang dalam kondisi cemas dan tertekan karena malu di tagih terus hanya karena tidak sanggup membayar seragam atau iuran yang disebut-sebut sebagai “hasil kesepakatan rapat”.
“Anak saya menangis karena ditagih terus oleh guru, katanya kalau belum lunas, nanti tidak bisa ikut ujian,” ujar salah satu wali murid yang meminta namanya disamarkan.
Dalam kondisi seperti ini, fungsi pengawasan dari seorang anggota DPRD seharusnya aktif menindak praktik pelanggaran, bukan justru terlibat langsung di dalamnya, namun Dedi Fajar Ramli, yang justru menjadi bagian dari Komisi A DPRD, komisi yang membidangi pendidikan dan pemerintahan, malah duduk sebagai ketua komite sekolah yang bermasalah.
Pakar kebijakan publik menilai, keterlibatan langsung anggota dewan dalam praktik sekolah semacam ini adalah bentuk nyata dari pembangkangan terhadap aturan, sekaligus penyalahgunaan wewenang legislatif untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Pemerintah daerah harus menyikapi ini dengan serius, kasus dugaan konflik kepentingan, kolusi anggaran, serta dampak psikososial dari praktik birokrasi menyimpang di sektor pendidikan ini masih marak di sekolah sekolah.
(C8N)
#senyuman08