Crew8 News, Solok, 12 Juli 2025 – Di sebuah rumah sederhana di pinggiran Kabupaten Solok, Qorry Syuhada menjalani keseharian yang penuh dengan pengorbanan.
Di balik senyum lelahnya, ia adalah ibu dari dua anak kecil, anak perempuan yang merawat orang tua yang sering sakit sakitan, serta kakak.
Namun kini, ia juga memikul beban sebagai seorang pegawai honorer non-ASN yang tengah kehilangan tempat berpijak, bukan karena kesalahannya, melainkan karena sistem yang abai pada rasa.
Beberapa waktu lalu, Qorry menerima keputusan lisan, ia dipindahkan dari tempat tugasnya ke lokasi lain yang berjarak puluhan kilometer dari rumah, tak ada surat resmi, tak ada dasar administrasi, tak ada proses musyawarah, apalagi empati, yang datang hanya perintah ,dan pemblokiran akses absensi, seolah ia tak lagi diizinkan bekerja.
“Saya tidak pernah menolak tugas, Saya hanya ingin diberi kesempatan menjalankan pekerjaan sambil tetap memenuhi kewajiban sebagai anak dan ibu, tapi dengan jarak sejauh itu, bagaimana bisa saya tinggalkan semua tanggung jawab di rumah?” ujarnya pelan, sembari menatap ke arah orang tuanya yang terlihat lemah.
Pemindahan ini bukan sekadar soal pekerjaan, bagi Qorry, ini adalah perkara hidup dan martabat.
Ia adalah satu dari ribuan honorer yang telah masuk database BKN dan mengikuti seleksi PPPK, namun tetap berada dalam ketidakpastian status, Kini, bahkan hak untuk hadir pun dirampas diam-diam.
Tidak tinggal diam, Qorry menyusun surat keberatan.
Ditujukannya kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Ombudsman RI, Kementerian PAN-RB, dan Komnas HAM.
Langkah ini bukan bentuk, perlawanan terhadap negara , melainkan bentuk kepercayaan. Bahwa negara ini punya hati nurani.
“Langkah saya ini bukan melawan, Saya hanya sedang mengetuk pintu keadilan, saya percaya negara tak pernah diciptakan untuk menyakiti yang kecil,” ucapnya.
Qorry ingin masyarakat tahu, bahwa menjadi pegawai honorer bukan berarti rela diperlakukan semena-mena, bahwa bekerja untuk negara, sekecil apapun statusnya, tetap memerlukan penghormatan atas harkat kemanusiaan.
Kasus Qorry kini menjadi sorotan berbagai kalangan. Beberapa organisasi masyarakat sipil, termasuk pengamat hukum dan aktivis perempuan, mulai memberikan perhatian.
Mereka menilai kasus ini sebagai bagian dari krisis tata kelola kepegawaian daerah , di mana sistem lebih tunduk pada kekuasaan personal daripada pada aturan dan etika pemerintahan.
“Satu Qorry Syuhada mungkin bisa diabaikan, tapi jika praktik ini terus terjadi, sistem akan kehilangan legitimasi moralnya,” ujar salah satu pegiat hukum di Sumatera Barat.
Qorry tidak sedang menuntut jabatan, Ia hanya ingin diakui sebagai manusia, yang punya hak untuk bekerja, merawat, dan didengar, Kini, suratnya telah dilayangkan. Tinggal menunggu, apakah negara benar-benar mendengar?
(C8N)
#senyuman08