Tajuk Redaksi Crew8 News
Crew8 News,
Ada yang ganjil di balik keputusan tegas Pemerintah Kabupaten Solok menghentikan sementara operasional Glamping Lake Side Alahan Panjang.
Pemerintah menyatakan kawasan wisata itu tidak memiliki izin pemanfaatan ruang (PKKPR) dan melanggar tata ruang. Namun dalam waktu yang sama, pihak pengelola menunjukkan bukti telah membayar pajak daerah dan memiliki sertifikat kepatuhan pajak yang justru dikeluarkan oleh Pemkab itu sendiri.
Inilah wajah klasik dari birokrasi yang menegur dengan tangan kanan, tapi menerima dengan tangan kiri.
Menolak secara hukum, tapi mengesahkan lewat penerimaan pajak.
Mempermalukan pengusaha di depan publik, tapi sebelumnya menguangkan pelanggarannya lewat pos PAD.
Pernyataan “tidak berizin” berarti tidak memiliki dasar hukum untuk beroperasi. Tapi jika pemerintah tetap memungut pajak dari kegiatan itu, maka pemerintahlah yang memberi legitimasi de facto terhadap kegiatan tanpa izin tersebut.
Pungutan pajak dari objek yang ilegal adalah kontradiksi administratif.
Dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebut jelas bahwa setiap pungutan daerah harus memiliki dasar legalitas objek pajak dan subjek pajak.
Jika izin belum ada, maka objek belum sah.
Dan jika objek belum sah, maka penerimaan pajak darinya bukan lagi pendapatan, melainkan cacat hukum dan moral.
Pertanyaan publik kini tidak lagi hanya tertuju pada PT Lakeside, tapi justru pada struktur pemerintahan yang menagih dan mengesahkan pajak tanpa memeriksa legalitas usaha.
Siapa pejabat yang mengeluarkan sertifikat kepatuhan pajak itu?
Apakah BKD menagih tanpa koordinasi dengan PTSP dan Dinas Pariwisata?
Atau justru ada pembiaran terencana demi mengamankan setoran PAD?
Jika benar ada penerimaan pajak dari kegiatan tanpa izin, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi, tapi indikasi maladministrasi struktural.
Bahkan, bisa mengarah pada dugaan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Danau Kembar yang seharusnya dijaga sebagai kawasan konservasi kini menjadi panggung bagi ironi tata kelola.
Pemerintah gencar bicara soal green tourism dan ekowisata berkelanjutan, tapi pada praktiknya mengizinkan pembangunan tanpa izin di tepi danau.
Bahkan baru bereaksi setelah muncul korban jiwa.
Lalu setelah musibah terjadi, semua bergerak cepat menutup, mengirim surat, dan menyalahkan pengelola.
Namun tak ada satu pun pejabat yang menjelaskan, ke mana saja pengawasan selama pajak rutin disetor dan diterima?
Pemerintah tampak gagah di depan publik dengan spanduk “Penegakan Hukum Tata Ruang.”
Namun keberanian menertibkan pengusaha kecil di tepi danau seharusnya dibarengi keberanian menertibkan birokrat di balik meja yang lalai, atau mungkin sengaja menutup mata.
Sebab, penegakan hukum yang tidak disertai evaluasi ke dalam hanyalah teater moral, bukan reformasi birokrasi.
Kasus Glamping Lake Side Alahan Panjang harus menjadi momentum audit total tata kelola izin dan pajak daerah.
Jika benar pajak diterima dari kegiatan yang tak berizin, maka penerimaan itu harus dinyatakan tidak sah dan dikembalikan ke kas daerah sebagai koreksi administratif.
Lebih jauh, perlu dilakukan pemeriksaan internal oleh Inspektorat dan rekomendasi khusus dari DPRD, agar publik tidak menganggap kasus ini hanya sebagai sandiwara tahunan.
Karena pada akhirnya, persoalan ini bukan semata tentang izin yang terlambat,
tapi tentang mental administrasi yang selalu lebih cepat menghitung uang ketimbang menegakkan aturan.
(C8N)
#senyuman08






