Crew8 News,Padang,- Tindakan Polisi Militer Angkatan Darat (POM AD) yang mengawal ketat Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat kembali mengundang perhatian publik.
Dalam laporan Padang TV, pengawalan tersebut diklaim sebagai penerapan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025.
Pengawalan bersenjata yang dilakukan sejumlah prajurit TNI dinilai sebagian pihak sebagai bentuk dukungan, namun di sisi lain juga berpotensi melanggar konstitusi dan prinsip supremasi sipil.
Dalam benak , publik membayangkan personel TNI bersenjata lengkap mengawal Kantor kejaksaan, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan publik, apakah tindakan tersebut sesuai dengan amanat hukum dan konstitusi?
Mevrizal, SH, MH, praktisi hukum dan pengamat konstitusi, menyebut keterlibatan TNI dalam tugas-tugas pengawalan kantor penegakan hukum sipil merupakan wilayah yang sangat sensitif dan harus dicermati secara hati-hati.
“Tugas pokok TNI itu menjaga pertahanan negara, bukan mengawal kantor pelaksanaan hukum pidana sipil.
Kalau ada pelibatan TNI dalam pengawalan kantor ataupun eksekusi Kejaksaan, tanpa dasar keputusan politik negara, itu patut dipertanyakan dan berpotensi melanggar konstitusi,” ujar Mevrizal, Minggu (6/7/2025).
Ia merujuk pada Pasal 30 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang secara tegas membatasi ruang gerak militer dalam tugas-tugas non-pertahanan.
TNI hanya dapat dilibatkan dalam membantu tugas sipil melalui keputusan politik negara, bukan atas dasar permintaan satu institusi sipil saja.
“Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden yang berbahaya, hari ini mengawal kantor , nanti eksekusi, besok bisa saja digunakan untuk tindakan represif lain.
Kita sedang bicara soal prinsip negara hukum dan pembagian kekuasaan yang jelas,” tambahnya.
Mevrizal menegaskan bahwa jika alasan pelibatan TNI adalah untuk menjamin keamanan, maka seharusnya cukup melibatkan aparat Kepolisian yang memiliki kewenangan penuh di bidang tersebut.
“Penegak hukum jangan berlindung di balik kekuatan bersenjata, kalau merasa butuh pengamanan, minta bantuan Polri, jangan tarik militer ke wilayah abu-abu seperti ini,” tegasnya lagi.
Mevrizal, SH, MH, praktisi hukum, menilai tindakan pelibatan TNI dalam pengamanan lembaga hukum sipil perlu dasar hukum yang sah dan terbuka.
“Jika benar ada Perpres 66/2025, maka wajib diumumkan ke publik, namun jika belum ada atau belum resmi, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pelampauan kewenangan,” ujarnya kepada media ini, Minggu (6/7/2025).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Pasal 7 Ayat (3) UU TNI mengatur bahwa pelibatan TNI dalam tugas selain perang harus berdasarkan keputusan politik negara, bukan inisiatif sepihak.
“Pengamanan objek vital sipil oleh TNI harus memiliki mandat politik, bukan sekadar MoU atau kesepakatan institusi.
Jika tidak, maka ini mencederai prinsip supremasi sipil dalam negara hukum,” tambah Mevrizal.
Namun, hingga kini tidak ditemukan salinan maupun keterangan resmi terkait keberadaan Perpres tersebut di portal hukum nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah Perpres tersebut benar ada, dan apa isi legal formalnya?
Sampai saat ini belum ada klarifikasi resmi dari pihak Istana atau Kementerian Sekretariat Negara mengenai Perpres 66 Tahun 2025 yang dimaksud.
(C8N)