Crew8 News, Ketapang, – Kalimantan Barat – Pendampingan hukum oleh ARUN (Advokasi Rakyat Untuk Nusantara) terhadap warga Desa Pelanjau Jaya, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, membawa konflik agraria lama ke titik panas baru.
Warga menuntut ganti rugi sebesar Rp891,8 miliar kepada PT Budidaya Agro Lestari (BAL), anak perusahaan Minamas Group asal Malaysia, atas dugaan pengelolaan ratusan hektare lahan sawit di luar Hak Guna Usaha (HGU).
Tuntutan ini disuarakan dalam musyawarah rakyat yang digelar pekan ini, difasilitasi langsung oleh Tim Advokasi ARUN Kalbar. Hasil investigasi mereka mengindikasikan bahwa PT BAL sejak 1997 telah membuka lahan dan menanam sawit secara ilegal di luar wilayah HGU yang sah, yang hanya seluas 1.002 hektare.
“Kami tidak sedang meminta belas kasihan. Ini hak rakyat atas tanah mereka sendiri yang dirampas. Musyawarah rakyat ini adalah bentuk perlawanan bermartabat,” tegas Mukip, tokoh adat dan juru bicara warga, Kamis (12/6).
Tim ARUN mencatat sedikitnya dua kawasan yang menjadi sorotan: Estate Pelanjau Jaya seluas 997,9 hektare dan Estate Beturus seluas 467,69 hektare, keduanya ditanami sawit oleh perusahaan namun berada di luar wilayah HGU resmi.
Perkiraan kerugian warga mencakup:Pendapatan sawit selama 25 tahun, Rp 812 miliarBiaya replanting, Rp 24,9 miliarNilai lahan: Rp49,8 miliarKerugian sosial-ekonomi, Rp 5 miliarDi luar itu, negara juga berpotensi mengalami kerugian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak senilai Rp22 miliar, akibat praktik pengelolaan lahan tanpa izin tersebut.
Warga juga menyoal skema kebun plasma yang dijanjikan perusahaan.
Dalam laporan yang sama, ditemukan data CPCL (Calon Petani Calon Lahan) berjumlah 423 orang, padahal total kepala keluarga (KK) di desa hanya 355, Selisih ini memicu dugaan adanya mark-up data dan masuknya nama-nama fiktif atau orang luar sebagai penerima manfaat.
“Banyak warga asli yang tidak menerima SHU (Sisa Hasil Usaha), tapi justru nama orang tak dikenal muncul sebagai petani plasma,” ujar seorang anggota Koperasi MUTS yang enggan disebutkan namanya.
Kedua koperasi plasma yang terlibat, yakni Koperasi MUTS dan Binjai Jaya Abadi (BJA), disebut warga tidak menjalankan prinsip transparansi dan partisipasi dalam menentukan pembagian lahan maupun hasilnya.
ARUN menegaskan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan langkah hukum strategis, termasuk, Gugatan perdata atas kerugian ekonomi masyarakatLaporan pidana terhadap penguasaan tanah tanpa hakDesakan audit agraria terhadap seluruh konsesi PT BAL dan Minamas GroupPengembalian lahan kepada masyarakat atau negara
“Musyawarah rakyat ini bukan akhir, tapi awal dari perjuangan hukum terukur, Kami akan dorong kasus ini ke pemerintah pusat dan lembaga penegak hukum,” ujar tim hukum ARUN dalam pernyataan resminya.
Pihak PT BAL maupun induknya, Minamas Group, hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan pelanggaran dan tuntutan warga. Permintaan wawancara yang diajukan tim investigasi dan media juga belum direspons.
Sementara Pemerintah Kabupaten Ketapang dinilai lemah dalam mengawal konflik yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun ini.
“Jika pemerintah membiarkan ini terus terjadi, maka mereka sedang membiarkan praktik perampasan tanah dan pelanggaran HAM berlangsung secara sistemik,” kata seorang akademisi hukum agraria dari Pontianak.
1997 PT BAL mulai buka lahan sawit di Pelanjau Jaya
1999 Terbit HGU hanya seluas 1.002 hektare
2008 Protes pertama warga terhadap ketidakadilan plasma
2011 Terbit SK CPCL untuk plasma Sungai Putih
2024–2025 Muncul tuntutan ganti rugi dan pembongkaran data manipulatif(Team C8N)