Opini Redaksi | Luka Digitalisasi Pendidikan: Dari Chromebook ke Jerat Korupsi Rp9,9 Triliun

Oleh: Redaksi

Crew8 News – Transformasi digital dalam pendidikan adalah janji besar, di tengah pandemi Covid-19 yang memaksa jutaan pelajar Indonesia belajar dari rumah, teknologi menjadi harapan terakhir agar proses belajar-mengajar tak lumpuh total, Namun kini, lima tahun setelah pandemi dimulai, kita menyaksikan sisi kelam dari janji itu, dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang menyeret Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ke dalam penyidikan Kejaksaan Agung.

Angka Rp9,9 triliun bukan jumlah kecil, Uang sebanyak itu yang sebagian besar berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sebagian dari satuan pendidikan – digunakan untuk membeli sekitar 1,1 juta unit perangkat TIK untuk lebih dari 77 ribu sekolah di seluruh Indonesia. Termasuk di dalamnya, laptop Chromebook, modem 3G, dan proyektor.

Tujuannya mulia, mendukung pembelajaran jarak jauh dan asesmen nasional berbasis komputer.

Namun dugaan yang kini muncul sangat serius, Kejagung menemukan indikasi adanya pemufakatan jahat dalam proses pengadaan, termasuk pengarahan terhadap tim teknis untuk menyusun kajian seolah-olah Chromebook adalah solusi terbaik.

Padahal, uji coba di lapangan sejak 2019 menunjukkan perangkat itu tidak cocok digunakan di banyak sekolah, terutama yang tidak memiliki infrastruktur jaringan internet yang memadai.

Kita perlu mencatat bahwa kebijakan ini terjadi dalam situasi darurat nasional.l, banyak kementerian dan lembaga memang mengambil jalan pintas untuk mempercepat belanja barang demi kepentingan publik, namun darurat bukanlah justifikasi untuk manipulasi.

Jika benar ada rekayasa kajian teknis, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif melainkan bentuk kejahatan yang menyalahgunakan krisis sebagai peluang rente.

Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim telah menyampaikan pernyataan resmi, ia menegaskan bahwa kebijakan digitalisasi pendidikan yang ia pimpin didasari niat baik, transparansi, dan asas keadilan.

Ia juga menyatakan siap mendukung proses hukum dan memberikan klarifikasi jika diperlukan.

Kami menghargai sikap terbuka ini, namun publik tentu menginginkan lebih dari sekadar klarifikasi, yang dibutuhkan adalah pembukaan penuh dokumen, notulensi rapat, serta daftar vendor dan penyedia yang dilibatkan.

Pengadaan Chromebook sejak awal menimbulkan tanya, mengapa sistem operasi yang sangat tergantung pada koneksi internet dipaksakan untuk sekolah-sekolah di pelosok yang bahkan listrik pun masih langka? Mengapa tidak digunakan solusi perangkat terbuka atau hybrid yang bisa menyesuaikan dengan ekosistem lokal?

Jawabannya mungkin tidak ada di meja teknokrat, melainkan di ruang lobi vendor, ketika teknologi ditentukan lebih karena relasi bisnis daripada kebutuhan pedagogis, maka pengadaan menjadi pintu masuk utama korupsi.

Banyak kepala sekolah mengeluh, laptop datang tidak bisa digunakan optimal, aplikasi tidak kompatibel, layanan purnajual tidak jelas.

Beberapa bahkan harus membeli perangkat baru karena Chromebook yang diberikan tidak mendukung pembelajaran daring secara fleksibel.

Apakah ini sekadar salah pilih produk? Ataukah ada kesengajaan untuk mengarahkan pilihan pada barang tertentu demi keuntungan bersama sejumlah elite?

Kami tidak sedang menunjuk orang per orang, namun tanggung jawab politik dan administratif harus diurai.

Sejauh mana pengambilan keputusan itu dikonsultasikan secara menyeluruh? Apakah ada sistem evaluasi sebelum dan sesudah distribusi barang? Siapa yang mengevaluasi vendor? Dan yang paling penting, ke mana saja uang itu mengalir?

Kejaksaan Agung perlu diberi ruang penuh untuk menyidik kasus ini secara menyeluruh. Kami mendesak agar proses ini tidak berhenti di level pejabat eselon atau teknis. Jika ada intervensi dari pengambil kebijakan tertinggi, maka itu pun harus dibuka.

Lebih dari itu, pemerintah yang baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto, mesti menjadikan ini sebagai momentum untuk bersih-bersih birokrasi pendidikan, Jika tidak, maka jargon digitalisasi hanya akan menjadi topeng baru dari pola lama korupsi anggaran.

Korupsi dalam dunia pendidikan adalah kejahatan yang paling subtil, namun paling menghancurkan masa depan bangsa, Saat negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk teknologi pendidikan, yang dibayangkan masyarakat adalah perubahan kualitas pembelajaran, Bukan pembengkakan anggaran, bukan mark-up harga, dan bukan laptop mati di sudut ruang kelas.

Jika kasus ini dibiarkan menguap, maka bukan hanya keuangan negara yang dirampok, Kepercayaan publik terhadap reformasi pendidikan pun ikut hancur.

Redaksi menyerukan agar semua pihak, penegak hukum, pembuat kebijakan, serta masyarakat sipil, mengawal kasus ini sampai tuntas, Karena hanya dengan keadilan dan akuntabilitas, luka dalam digitalisasi pendidikan bisa disembuhkan.(C8N)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini